JAKARTA, jacindonews | – Hari ini (21/9/2021) KPK memanggil Anies Baswedan dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyebu penyidik melayangkan surat pemanggilan kepada Gubernur DKI Jakarta tersebut untuk diperiksa sebagai saksi bagi mantan Dirut Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Yoory Corneles Pinontoan (YCP), tersangka kasus korupsi pengadaan lahan di Munjul. Selain Anies, KPK juga memanggil Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi. Sebelumnya KPK telah memeriksa Wakil Ketua DPRD M. Taufik.
Seperti diketahui Yoory adalah tersangka kasus pengadaan lahan Munjul Pondok Rangon, Jakarta Timur. Tersangka lainnya adalah Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur Rudy Hartono Iskandar, Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian dan Wakil Direktur PT Adonara Propertindo Anja Runtuwene.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan membutuhkan keterangan baik dari Pemprov mapun DPRD DKI. Pemeriksaan saksi dalam suatu perkara adalah hal yang biasa. Beberapa pejabat tinggi juga pernah menjadi saksi dalam perkara korupsi seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat menjadi saksi kasus korupsi e-KTP dan juga mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus suap reklamasi Pantai Utara Jakarta yang menjerat anggota DPRD M Sanusi. Namun dalam kasus pemanggilan Anies, terasa berbeda karena kuatnya nuansa politik yang diframing sedemikian rupa. Beberapa hal tampak di-blow up dengan narasi penghakiman, seolah bersalah.
Padahal konstruksi kasusnya sangat jelas. Yoory dan para tersangka lainnya bersekongkol untuk mendapatkan keuntungan pribadi tanpa arahan pihak lain seperti temuan KPK selama ini. Keterangan yang dibutuhkan KPK hanya terkait pola penganggaran. Oleh karenanya yang dimintai keterangan sebagai saksi adalah Pemprov dan DPRD sebagai pihak yang membahas dan mengesahkan suatu anggaran.
Pengesahan anggaran dari RAPBD menjadi menjadi APBD bersifat kebijakan. Sedang perbuatan yang disangkakan kepada Yoory dan kawan-kawan merupakan persekongkolan untuk menyelewengkan anggaran. Jadi dua ini hal berbeda.
Sebagai contoh, ketika terjadi korupsi Bantuan Sosial (Bansos) di Kementerian Sosial yang sumber dananya dari APBN, apakah pihak-pihak yang mengesahkan ABPN diminta ikut bertanggungjawab? Tentu tidak karena pembahasan dan pengesahan APBN adalah kebijakan, keputusan politik antara eksekutif dan legislatif yang diamanat UU.
Dalam kasus pembelian lahan Munjul, sesuai konstruksi yang dijelaskan KPK, terungkap Yoory selaku Dirut Perumda Pembangunan Sarana Jaya memiliki tugas untuk pengadaan lahan, selain bidang properti tanah dan bangunan. Namun dalam melaksanakan tugas pengadaan lahan Munjul, Yoory diduga melakukan penyelewengan berupa persekongkolan dengan pihak luar yakni PT PT Adonara Propertindo dan PT Aldira Berkah Abadi Makmur.
Dari konstruksi kasusnya, mestinya tidak perlu penyidik sampai meminta keterangan yang berkaitan kebijakan pembahasan dan pengesahan anggaran. Tetapi karena kita menengarai sarat dengan kepentingan politik, maka oleh pihak-pihak tertentu konstruksinya dibuat dengan bahasa hiperbolis dan diframing seolah ada anggaran jor-joran dalam kasus tersebut.
Anggaran lain yang tidak terkait kasus karena yang dibayarkan oleh Yoory kepada pihak lain dan oleh KPk disebut sebagai kerugian keuangan negara adalah sekitar Rp 152,5 miliar, ikut dibuka agar menimbulkan kehebihan.
Sebenarnya kita masih berharap KPK dapat menjalankan peran dan fungsinya secara independen tanpa diboncengi kepentingan politik. Apalagi di tengah gonjang-ganjing proses alih pegawai KPK menjadi PNS yang telah dinyatakan mal-administrasi oleh Ombudsman RI, mustinya membuat KPK mawas diri.
Sayangnya harapan itu semakin pudar di era sekarang. Apa yang dapat kita harapkan dari lembaga yang pimpinannya terbukti melakukan pelanggaran kode etik? Bukankah tidak mungkin mengharapkan sapu kotor dapat membersihkan lantai?.
Oleh RM Tumenggung Purbonegoro (LI)