JAKARTA | Jacindonews – Dunia kembali diguncang oleh ketegangan antara Amerika Serikat dan China. Pada 9 April 2025, Presiden AS Donald Trump secara resmi menetapkan tarif impor sebesar 104% terhadap seluruh produk asal China. Langkah ekstrem ini merupakan respons terhadap kebijakan balasan China yang sebelumnya menaikkan tarif sebesar 34% atas produk asal AS. Eskalasi ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga bagian dari rivalitas geopolitik global yang semakin mengarah pada pemisahan blok-blok perdagangan dunia.

 

Babak Baru Ketegangan Global

Sejak awal masa jabatannya, Presiden Trump konsisten menggunakan tarif sebagai alat negosiasi politik luar negeri. Namun kali ini, kebijakannya menciptakan gelombang guncangan sistemik yang lebih dalam. Indeks-indeks utama seperti Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq mencatat penurunan tajam hanya beberapa jam pasca-pengumuman. Saham-saham Asia turut melemah, mata uang regional seperti won Korea Selatan ikut tertekan, dan sentimen pasar global memburuk tajam.

Yang lebih mengkhawatirkan, para ekonom dunia memperingatkan risiko resesi global sebagai akibat langsung dari gangguan rantai pasok, ketidakpastian perdagangan, serta lonjakan harga bahan pokok di tingkat konsumen.

 

Dampak Langsung terhadap Ekonomi Dunia

1. Harga Barang Konsumen Meningkat
Penerapan tarif 104% terhadap barang impor asal China menyebabkan berbagai produk sehari-hari—seperti elektronik, mainan, sepatu, dan alat rumah tangga—mengalami kenaikan harga yang drastis di pasar Amerika. Efek domino dari kebijakan ini dipastikan akan menjalar ke seluruh dunia, termasuk negara mitra seperti Indonesia.

2. Gangguan pada Rantai Pasok Global
China masih menjadi pusat manufaktur dunia, terutama untuk produk elektronik, baterai, dan kendaraan listrik. Gangguan dalam arus perdagangan AS–China akan memaksa banyak perusahaan global mengubah peta distribusi dan rantai pasoknya, dengan biaya besar dan konsekuensi geopolitik yang luas.

3. Ketidakstabilan Pasar Keuangan
Guncangan di pasar saham, penurunan nilai aset global, dan aksi jual investor menunjukkan bagaimana satu kebijakan unilateral dapat memicu reaksi berantai dalam ekonomi global yang saling terhubung.

 

Implikasi Strategis bagi Indonesia

Indonesia tidak berada di luar pusaran ini. Justru, sebagai negara ekonomi menengah dengan posisi strategis di Asia-Pasifik, Indonesia terdampak langsung dan tidak langsung oleh ketegangan ini.

 

Peluang Jangka Pendek

Substitusi ekspor ke AS: Beberapa produk asal China yang kini dikenakan tarif tinggi dapat digantikan oleh produk dari Indonesia, seperti tekstil, alas kaki, makanan olahan, dan komponen elektronik ringan.

Relokasi industri: Ketidakpastian di China membuat banyak produsen mencari lokasi alternatif di Asia Tenggara. Indonesia berpotensi menarik investasi ini, dengan syarat reformasi iklim usaha segera dilakukan.

Tantangan Jangka Panjang

Fragmentasi standar teknologi: Perang dagang telah meluas menjadi perang teknologi. Indonesia dihadapkan pada dilema memilih ekosistem teknologi: apakah akan lebih condong ke standar AS atau China?

Kebijakan tarif balasan: Bila perang dagang meluas menjadi perang tarif global, Indonesia dapat terkena imbas berupa hambatan dagang baru, termasuk dari negara-negara mitra tradisional.

 

Strategi Indonesia: Netral Aktif dan Mandiri Ekonomi

Dalam menghadapi konstelasi baru ini, Indonesia tidak cukup hanya “menyikapi dengan bijak”. Kita harus bergerak cepat dan proaktif, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Penguatan diplomasi dagang bilateral dan regional melalui ASEAN dan G20.

2. Diversifikasi pasar ekspor dan ketahanan rantai pasok nasional.

3. Peningkatan daya saing industri hilir dan teknologi manufaktur.

4. Pemanfaatan posisi geografis strategis untuk menjadi simpul perdagangan netral.

Indonesia perlu memosisikan diri sebagai jembatan dagang antara dua kekuatan besar, sembari mendorong transformasi ekonomi dalam negeri yang lebih resilien terhadap krisis global.

 

Penutup: Dari Guncangan Menuju Kesempatan

Eskalasi perang dagang AS–China pada 2025 harus menjadi wake-up call bagi bangsa ini. Dalam sejarah, banyak negara berhasil naik kelas justru karena mampu memanfaatkan krisis global sebagai momentum reformasi besar. Indonesia memiliki potensi itu—tinggal apakah kita mampu mengonsolidasikan niat politik, keberanian ekonomi, dan kecepatan strategi untuk menjemput peluang di tengah badai. (**).

**Assoc. Prof. Dr. H. Irmanjaya Thaher, SH, MH adalah Rektor Universitas Salakanagara, Advokat Senior, Kurator dan pengamat isu-isu hukum Tata Negara, Hukum internasional dan Geopolitik

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *