JAKARTA | Jacindo News – Organisasi Persaudaraan Wanita Tionghoa Indonesia (Perwanti) memberikan respons tegas terhadap pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya perkosaan massal dalam Tragedi Mei 1998. Perwanti menegaskan bahwa tragedi tersebut merupakan catatan sejarah yang tidak dapat diubah atau dihapus.
Ketua Umum Perwanti, Surijaty Aminan, menyatakan bahwa pernyataan Fadli Zon sangat menyakitkan hati, terutama bagi para korban dan keluarga yang terdampak. “Tragedi 98 adalah tragedi yang sangat menyakitkan dan tidak bisa dihapus dari ingatan banyak orang, terutama kaum perempuan yang mengalami nasib tragis,” ujar Surijaty di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Kamis (19/6).
Fakta Resmi yang Tak Terbantahkan
Pernyataan PERWANTI ini didukung oleh dokumen resmi pemerintah. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk untuk menyelidiki kerusuhan Mei 1998 telah mengungkapkan temuan mengejutkan: 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan yang terdokumentasi.
Laporan TGPF tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie dan menjadi dasar pengakuan resmi negara. Sebagai tindak lanjut, pemerintah kemudian membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998.
“Bukan Sekadar Rumor, Tapi Sejarah Pahit”
Ketua Perwanti Jakarta, Silvia Tanaman, dengan tegas menyatakan bahwa Tragedi Mei 98 bukanlah rumor belaka. “Ini adalah catatan sejarah pahit bangsa Indonesia dan luka kemanusiaan yang tak bisa dihapus sampai kapanpun,” tegasnya.
Silvia juga mempertanyakan dasar pernyataan Menteri Kebudayaan tersebut. “Seharusnya sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon membuat pernyataan berdasarkan riset dan kenyataan sejarah, bukan berdasarkan pemikiran pribadi,” kritik Silvia.
Fakta Tragedi Mei 1998
Menurut catatan sejarah, Tragedi Mei 1998 merupakan peristiwa kekerasan massal dan kerusuhan sipil yang sebagian besar menargetkan komunitas Tionghoa. Peristiwa ini terjadi di berbagai kota, terutama Medan, Jakarta, dan Surakarta, dengan korban jiwa mencapai ratusan orang.
Silvia Tanaman jg menduga pernyataan Fadli Zon menunjukkan kurangnya empati terhadap korban dan keluarga yang ditinggalkan. “Saya menduga beliau tidak memiliki rasa empati terhadap korban atau keluarga korban,” ungkapnya.
Tuntutan Permintaan Maaf
Berbagai kalangan, termasuk aktivis HAM, anggota DPR, dan masyarakat umum, kini menuntut Fadli Zon untuk meminta maaf atas pernyataannya yang dinilai melukai perasaan korban dan keluarganya, diharapkan ke depannya tidak mengulangi upaya mengubah sejarah.
PERWANTI menegaskan bahwa sebagai bangsa Indonesia, kita harus belajar dari sejarah kelam ini untuk memastikan tragedi serupa tidak terulang kembali. “Sejarah tidak bisa diubah, yang bisa kita lakukan adalah belajar darinya,” pungkas Silvia.