JAKARTA | Jacindonews - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (“RKUHP”) yang diusulkan resolusinya sejak tahun 1963 belum kunjung selesai pembahasannya. RKUHP kini dianggap menjadi suatu kebutuhan legislasi untuk merekonstruksi pembaharuan hukum pidana Indonesia, yang diharapkan dapat menyelesaikan penerapan hukum pidana yang berlebihan, dan kondisi overcrowding di lembaga permasyarakatan di Indonesia. 

 Oleh karena itu, pada hari Sabtu 18 Juni 2022, bertempat di Trust Building, Jakarta, Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani (“PPHKI”) & Jaringan Peduli Anak Bangsa (“JPAB”) menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang mengusung tema “Menggali Pemikiran & Masukan Konstruktif Untuk RKUHP”, dengan menghadirkan dua narasumber yaitu Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A (Guru Besar Antropologi UI) & Dr. Jamin Ginting (Advokat & pengajar Fakultas Hukum UPH), yang dimoderasi oleh Dr. Edrick Edwardina Effendy, SH, M.kn.

 FGD yang dihadiri Pengurus PPHKI dan JPAB serta undangan yaitu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Bala Keselamatan, Gereja Ortodoks Indonesia, dan Persekutuan Gereja-Gereja & Lembaga Injili Indonesia (PGLII)  menunjukkan kepedulian umat Kristiani untuk menyampaikan seruan bersama agar Pemerintah & DPR mempertimbangkan pandangan dan masukan yang konstruktif dari masyarakat untuk penyusunan RKUHP.

 Sulistyowati Irianto menyampaikan the living law yang dirumuskan dalam KUHP tidak jelas dan tidak mengakomodasi realitas hukum dalam masyarakat. Hukum negara bukan satu-satunya hukum yang memonopoli perilaku warga masyarakat, karena dalam realitasnya terdapat juga hukum adat, hukum agama, dan kebiasaan sebagai sistem hukum yang saling bertemu satu sama lain dalam waktu yang panjang, saling mempengaruhi dan mengadopsi. Setiap sistem hukum tidak bisa dipandang sebagai entitas dengan batas jelas dan terpisah dari hukum-hukum lain, serta memiliki living law-nya sendiri, yaitu hukum yang senyatanya dianut oleh masyarakat pendukungnya. Living law juga menyusup ke wilayah-wilayah tanpa batas, terlebih saat ini ketika saat ini warga ras, bangsa, kelompok etnis, komunitas adat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, membawa serta hukum mereka ke tempat yang baru. Maka, the living law manakah yang dimaksud dalam RKUHP? Apakah hukum adat? Perumusan living law dalam RKUHP justru berbahaya ketika living law dianggap sebagai hukum adat yang tidak pernah berubah, membatu (fossilized), bisa diidentifikasi secara jelas batasnya, karena akan menimbulkan multitafsir dan konflik dalam masyarakat.

   Selanjutnya, Jamin Ginting berpandangan untuk pasal penodaan agama perlu ada pengecualian atau penghapus pidana, misalnya jika perbuatan tersebut dilakukan dengan niat yang baik, dan diutarakan dalam bahasa yang layak sebagaimana diatur dalam Pasal 296 KUHP Kanada.

  Ketua Umum PPHKI Fredrik Pinakunary menegaskan bahwa keberadaan hukum adat sudah diakui dan dilindungi oleh Konstitusi (Pasal 18 B UUD 1945), namun apabila hendak diatur dalam RKUHP, maka perumusan living law harus dilakukan secara hati-hati, dan penegasannya harus diatur dalam batang tubuh dan bukan di penjelasan, karena menurut aturannya rumusan penjelasan UU tidak boleh mempersempit atau memperluas materi muatan dalam suatu UU. Dari beberapa pandangan dan masukan dari peserta FGD, PPHKI & JPAB merekomendasikan hal-hal berikut:

Agar pasal 2 RKUHP mengenai pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dihapus, atau setidak-tidaknya direformulasi menjadi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi kewenangan hakim untuk mempertimbangkan hukum adat, termasuk penyelesaian atas pelanggaran adat, dan pemenuhan kewajiban dalam masyarakat adat.”

Pasal 302 ayat (1) RKUHP mengenai pengaturan tindak pidana terkait hate speech berbasis agama pengaturannya dinilai sudah baik dan sesuai dengan Pasal 20 ayat 2 Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yaitu memuat unsur perbuatan yang bersifat permusuhan, menyatakan kebencian, menghasut untuk melakukan permusuhan kekerasan atau diskriminasi. Namun, dalam Pasal 302 ayat (2) ternyata masih memuat unsur “penodaan” yang tidak jelas batasannya, sehingga diusulkan agar Pasal 302 ayat (2) dihapus.

Pengaturan tindak pidana kohabitasi sebaiknya digabungkan menjadi tindak pidana perzinahan, karena secara substansi rumusannya hampir sama dan parameter untuk membedakannya kurang jelas, padahal keduanya mengatur ancaman pidana yang berbeda, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

 PPHKI & JPAB berharap pandangan dan masukan ini dipertimbangkan Pemerintah dan DPR sebagai bagian meaningful participation dalam pembentukan RKUHP, tanpa mengurangi urgensi dilakukannya penyelesaian pembahasan, dan pengesahan RKUHP sebagai pembaharuan hukum pidana nasional. (Ril). 

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *