JAKARTA | JacindoNews – Pandemi covid 19 membawa perubahan jaman besar di abad 21 ini. Perubahan secara besar besaran terjadi diberbagai bidang : pengetahuan, ilmu tehnologi , digitalisasi industri, perubahan politik dunia.

Perubahan ini akan terjadi dengan sangat cepat dan mendasar ( revolusi). Akan semakin banyak timbul pemaksaan kehendak dan kekerasan di berbagai belahan bumi termasuk di Indonesia.

Tapi masih ada juga kejadian pemaksaan kehendak dari yang merasa mayoritas terhadap yang lebih lemah, yaitu di Klentheng Jiu Tian Kuing di Sukabumi, baru-baru ini.

Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI), mengajak dan mempertemukan tokoh-tokoh spiritual bangsa untuk memberikan Pesan Spiritual supaya tongkat spiritual yang terlebih dahulu disampaikan melalui para raja-raja Nusantara dahulu dan Wali Songo pada saat penyebaran agama Islam dapat tersambung kembali.

Pesan Spiritual Untuk Permasalahan Klenteng Jiu Tian Kuing Sukabumi dan juga berbarengan dengan Pesan Spiritual Perdamaian Presiden Jokowi untuk Rusia dan Ukraina, maka GMRI mengadakan Konferensi Pers pada hari Selasa, (05/07/2022), pukul. 15.00 wib, bertempat di RM. Ayam Ancuur lantai 2, Jalan Juanda Raya No. 5B, Jakarta Pusat.

Saat Mengadakan Konferensi Pers Mengenai Pernyataan Pesan Spiritual.

Dalam acara tersebut hadir sebagai narasumber, ketua GMRI Eko Sriyanto Galgendu, KH. Ahmad Ghufron, K.R.H.T Astono Candra Dana, Teuku Candra.

Dalam pernyataan mengenai Pesan Spiritual nya kepada Media, Ketua GMRI Eko Sriyanto Galgendu membacakan pernyataan nya sebagai berikut:

Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) merupakan wadah perkumpulan dari Alm KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), Alm S.I.S.K.S Pakubuwana XII, Alm Tjokorde Gde Agung Suyasa, Alm Yuli Sulistyo Wibowo dan Bhikhu Sri Pannavaro Mahathera, M. Habib Chirzin serta Eko Sriyanto Galgendu, untuk membicarakan permasalahan dan cita-cita berbangsa dan bernegara.

Spiritual kebangsaan dan spirit kenegaraan selalu menjadi dasar dari berdiskusi. Pemikiran dan kebijakan Para Raja Sultan di jaman dahulu, termasuk peran para wali songo yang didasari spiritual keagamaan menjadi dasar pandang dan suri tauladan.

PESAN SPIRITUAL KEBIJAKAN
Pandemi Covid 19 membawa perubahan jaman besar di abad 21 ini. Perubahan secara besar besaran terjadi diberbagai bidang: ilmu pengetahuan & teknologi, digitalisasai industri, kolonialime gaya baru (psywar), perubahan politik dunia dengan perang saudara Rusia lawan Ukrania termasuk dampak permasalahan krisis energi dan pangan yang akan membawa pada resesi ekonomi dunia.

Perubahan ini akan terjadi dengan sangat cepat dan mendasar (revolusi). Akan semakin banyak timbul pemaksaan kehendak dan kekerasan di berbagai belahan bumi termasuk di Indonesia.

Tapi dibalik semua itu juga ada upaya-upaya perdamaian, seperti yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan berkunjung ke Rusia dan Ukrania.

Waspada terhadap “Devide et Impera” memecah belah kemudian mengadu domba terhadap sesama anak, akan selalu menjadi permasalahan pokok yang mesti dicermati. Supaya tidak terus menerus berulang kejadian. Seperti Penolakan terhadap pembangunan dan renovasi di Klentheng Jiu Tian Kuing di Sukabumi, yang menimbulkan pro dan kontra.

Maka Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI), mengajak dan mempertemukan 5 tokoh spiritual bangsa untuk berkenan memberikan: PESAN SPIRITUAL supaya tongkat spiritual para raja dan wali songo dapat tersambung kembali.

Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) dalam menyikapi: Penolakan renovasi rumah ibadah klenteng Jiu Tian Kung di Sukabumi, yang sudah berdiri sejak tahun 1975.

Renovasi dan pembangunan Klenteng/Vihara Jiu Tian Kung yang digagas Yayasan Gema Cita Nusantara di Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, mendapat penolakan.

Hal tersebut tertuang dalam berita acara tentang musyawarah pembahasan rencana dan atau pembangunan Klenteng/Vihara Jiu Tian Kung serta Bansos yang akan dilaksanakan oleh Yayasan Gema Cita Nusantara di Wilayah Desa Tenjolaya Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi.

Menyikapi hal ini, GMRI mengajak semua pihak untuk membangun kesadaran bersama bagi sesama anak bangsa menjadi dasar yang penting bagi hubungan antar agama. Dasar kebangsaan yang memiliki filosofi: “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana darma manqrua” yang artinya:
Keberagaman yang satu bangsa, tidak ada kebangsaan yang mendua. Mesti menjadi dasar utama kebijakan kepemimpinan di Indonesia. Karena keberagaman di Indonesia hanya bisa diikat oleh “Satu Keyakinan Kebangsaan, yaitu Indonesia”.

Terlebih lagi, menurut informasi yang didapat dari Ketua FKUB Kabupaten Sukabumi Daden Sukendar, tampak ada penghormatan dari para pendiri Rumah Ibadah ini terhadap tokoh leluhur masyarakat Sunda. Jadi, rumah ibadah ini didirikan bukan untuk menyembah atau menghormati figur-figur yang dianggap sakral oleh agama Buddha atau keyakinan Tionghoa lainnya.

Yayasan Gema Cita Nusantara hanya ingin menjalankan wasiat dari yang mewakafkan sebagian tanah tempat bangunan itu berdiri, yaitu dengan membeli seluruh tanah seluas 8.800 meter tersebut dengan syarat harus mempertahankan bangunan di atasnya. Di dalam bangunan itu, kata Daden, ada petilasan Prabu Siliwangi dan tempat meditasi, serta ornamen khas Tionghoa, yang sering disebut sebagian warga sebagai klenteng.

Maksud renovasi pihak yayasan adalah ingin menjadikan tempat itu sebagai wisata religi. Dan setiap orang, dari agama atau etnis apa pun, bisa mengunjunginya. Apalagi kalangan yang menghormati leluhur Sunda seperti Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang.
Pesan spiritual:

  1. Hati-hati dan waspada terhadap upaya-upaya untuk memecah belah bangsa dengan mengadu domba dengan latar belakang SARA dan seringkali dipicu dari kesenjangan
    ekonomi dan politik.
  2. Hati -hati dan cermati statement politik yang mengarah kepada provokasi adu domba sesama anak bangsa untuk meraih dukungan.
  3. Kebijakan, cinta kasih dan kesabaran menjadi dasar landasan hubungan antar agama dan jangan mendahulukan diskiriminasi dan intoleransi.

Untuk hal tersebut diatas, maka untuk kedua belah pihak agar berkenan:

  1. Menjaga dan menahan diri dari pengrusakan secara fisik.
  2. Saling mengingatkan satu sama lain dengan saling membantu, untuk menumbuh
    kembangkan persaudaraan satu bangsa.
  3. Mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam mengambil kebijakan.
  4. Mengutamakan untuk saling menghargai, menghormati serta yang lebih besar dan kuat
    berkenan untuk melindungi yang lebih lemah.
  5. Menghormati dan memenuhi syarat-syarat yang sudah tercantum di Surat Keputusan
    Bersama (SKB) 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah, atau yang secara resmi dikenal
    sebagai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

Meskipun terkadang pada praktiknya aturan tersebut seringkali digunakan untuk
pembenaran melakukan tindakan intoleran dan diskriminasi terhadap kaum minoritas di suatu wilayah di Indonesia dan pemerintah daerah yang kerap tak bergigi terhadap tekanan kelompok intoleran, makin menyudutkan kaum minoritas.

Penolakan pendirian rumah ibadah, dengan alasan klasik tidak memiliki izin seringkali menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan intoleran dan dikriminasi, dan menjadi cerita berulang dari tahun ke tahun yang sampai hari ini belum bisa memberikan jaminan rasa aman dan keadilan bagi kaum minoritas.

Oleh karena itu kami menegaskan akan selalu mengingatkan dan mendorong Pemerintah untuk serius dalam menangani persoalan intoleransi dan diskriminasi, serta segera menetapkan Perpres tentang Kerukunan Umat Beragama & Kepercayaan serta pendirian rumah ibadah, agar kedepannya implementasi toleransi Kerukunan Umat Beragama & Kepercayaan menjadi sebuah keniscayaan di Indonesia.

(JN)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *