JAKARTA | JacindoNews – Tahun 2024 merupakan tahun dimana setelah pesta demokrasi Pemilihan Umum telah usai dan juga sudah adanya keputusan dengan terpilihnya pasangan baru Presiden dan Wakil Presiden RI, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, pemerintah pusat yang saat ini masih dipegang oleh Presiden Joko Widodo beserta jajaran kementerian menetapkan sudah diadakan perpindahan secara bertahap Aparatur Sipil Negara (ASN) ke Ibu Kota Negara. Hal ini sesuai dengan ketetapan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

Dengan penetapan IKN tersebut, tidak bisa pungkiri akan menimbulkan berbagai
persoalan baru sebagai dampak ikutan hadirnya pusat pemerintahan di Kalimantan Timur. Salah satu persoalan yang paling menonjol adalah masalah pertanahan.

Hal inilah yang dibahas dalam Diskusi dan kajian singkat yang diadakan oleh Pusat Kajian Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam atau PK HASA, yang diadakan pada hari Kamis (16/05/2024), pukul 16.00 WIB, bertempat di Cik 9 Building lantai 1, Cikini, Jakarta Pusat. Tema yang diangkat adalah “Menyongsong Kebijakan Tanah IKN”.

Sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H (pakar hukum pertanahan) dan Syaiful Bahari (Pengamat Pangan dan Pertanian).

Dalam pembukaan kajian, Syaiful menjelaskan mengenai banyak penyebab yang menjadikan IKN berpotensi rawan konflik pertanahan. Dirinya menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan konflik pertanahan di wilayah IKN kedepannya perlu ada lembaga khusus yang menangani dan memberikan resolusi konflik pertanahan di wilayah IKN.

“Walaupun pemerintah pusat sudah menyampaikan mengenai status tanah-tanah di IKN relatif aman karena berasal dari tanah bekas kehutanan dan perkebunan, namun tetap saja di wilayah tersebut terdapat bagian dan tumpang tindih dengan tanah-tanah yang ditempati dan dikuasai masyarakat. Bahkan sampai saat ini belum ada kajian yang komprehensif mengenai kedudukan tanah pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat, ” ujar Syaiful.

Sedangkan Prof.Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H menjelaskan bahwa dengan luas wilayah IKN mencakup daratan seluas 252.600 hektar dan wilayah laut mencapai 69.769 hektar, tentunya harus ada solusi yang terbaik jika nantinya terdapat masalah pertanahan di wilayah IKN.

“Pemerintah sejauh ini hanya melihat persoalan tanah di IKN dari segi pengadaan dan status formilnya saja di zona inti. Namun, tanah-tanah masyarakat yang berada di sekitaran zona inti cepat atau lambat akan terdampak terhadap kehadiran IKN, ” ujarnya.

Aartje juga menjelaskan bahwa profil pertanahan di  IKN – Kalimantan Timur pada umumnya dibagi empat kategori (klaster), yaitu: tanah perkebunan, kawasan hutan, tanah ulayat, dan tanah milik perseorangan. “Dalam riwayat pertanahan di wilayah pulau Kalimantan, termasuk Kalimantan Timur, banyaknya konflik agraria yang terjadi. Dengan kehadiran IKN maka semakin memicu konflik-konflik pertanahan di wilayah tersebut semakin meluas, ” ujarnya.

“Pembangunan infrastruktur hanya satu bagian kecil saja dari konsep dan cita-cita pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan manusia, keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar
IKN justru seharusnya menjadi prioritas perhatian pemerintah. Terlebih lagi IKN adalah simbol Negara Republik Indonesia yang harus dipertaruhkan oleh pemerintah agar tidak tercoreng dengan dampak-dampak sosial-ekonomi yang akan ditimbulkan. Oleh karena itu, sebelum hal ini terjadi nantinya, wilayah pertanahan di IKN, perlu ada dibentuk lembaga atau komite khusus yang melekat di Badan Otorita IKN untuk dapat melakukan kajian komprehensif mengenai
kedudukan dan persoalan-persoalan agraria di wilayah IKN, baik yang berada di zona inti maupun di luar zona inti. Dengan demikian, melalui kajian komprehensif tersebut, pemerintah dapat menyusun kebijakan strategis untuk penataan pertanahan di IKN ke depannya,” harap Aartje ketika menutup kajian dari PK HASA. (JN).

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *