JAKARTA | JacindoNews – Kamis (25/04/2024), pukul 10.30 WIB, bertempat di Kantor Imparsial The Indonesian Human Rights Monitor, jalan Tebet Dalam IV, Jakarta Selatan, diadakan acara Diskusi Publik dan Media Breafing. Tema yang diusung adalah Pasca Papua Pemilu 2024: Eskalasi Atau Konflik Resolusi Konflik.

Acara diselenggarakan oleh Forum Akademisi Papua Damai dan berlangsung secara online dan offline. Tujuan diselenggarakan nya acara diskusi ini untuk mengetahui informasi terakhir situasi Papua pasca Pemilihan Umum 2024. Sebagai informasi, bahwa situasi Papua saat ini masih berlanjut konflik yang menimbulkan korban jiwa yang banyak.

Annisa Yudha sebagai moderator membuka forum dengan memaparkan kondisi konflik Papua saat ini. Dimulai dari bagaimana perubahan status nama

Mangadar Situmorang, P.hD sebagai narasumber pertama, dalam paparan nya mengemukakan bahwa dengan forum ini bisa menjadi solusi dalam penyelesaian masalah Papua. “Hal ini dilatarbelakangi dengan eskalasi konflik, contohnya saja saat peristiwa 10 April 2024 dengan korban salah satu komandan dari TNI sempat viral. Kami dari Forum Akademisi untuk Papua Damai, persoalan Papua merupakan persoalan bangsa. Media diharapkan dapat berperan dalam memberikan informasi yang objektif untuk mengangkat masalah Papua sebagai masalah bersama bangsa Indonesia, ” ungkap nya.

Mangadar juga menjelaskan bahwa pada waktu kampanye tersebut, paslon 02 Prabowo menyatakan mengenai masalah Papua bukan saja bersifat domestik hukum, juga mengenai masalah keamanan dan militer. Sebagai catatan, Presiden terpilih menjanjikan pendekatan kepada masyarakat Papua dan membantu kesejahteraan sosial masyarakat Papua. Kita berharap kepemimpinan dari presiden terpilih Prabowo Subianto bisa meninggal Legacy selama menjabat nanti dan menyelesaikan konflik di Papua. Itulah harapan kami ke Presiden Prabowo Subianto. Penyelesaian persoalan Papua sampai 10 tahun terakhir ini, belum ada penyelesaian yang maksimal. Kita mencoba optimis, agar masa pemerintahan baru nanti bisa menyelesaikan masalah ini dengan adanya resolusi dan penurunan eskalasi konflik Papua , ” harap nya.

Pdt. Ronald Richard Tapilatu, perwakilan dari PGI menjelaskan potret empiris mengenai situasi Papua terbaru. ” Sejak tahun 1969 hingga 1999, daerah Papua menjadi daerah operasi pengamanan militer. Organisasi Papua Merdeka sudah ada sejak 1969. Sempat masa jabatan Kapolri Tito Karnavian, menyebutkan OPM dengan istilah baru Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Penggunaan nama OPM kembali lagi disebutkan oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, menimbulkan luka lama lagi bagi masyarakat Papua. Kita sekarang membicarakan mengenai situasi krisis Papua. Kami dari PGI kami usulkan untuk pimpinan keagamaan duduk bersama dalam penyelesaian masalah Papua. Kita tidak perlu ikut politik praktis di sana, diperlukan pendekatan dengan niat baik. Mari kita taruh frame besar dalam mencari solusi konflik di Papua. Krisis kemanusiaan di Papua harus diakhirinya,” ujarnya.

Elvira Rumkabu melalui siaran online zoom menjelaskan dua hal, yaitu pertama pembicaraan kekerasan di Papua sudah terlembaga, dengan kebijakan keamanan yang dilakukan oleh pemerintah RI, eskalasi konflik Papua semakin meningkat. Pernyataan yang mengganggu adalah apakah titik krisis dari konflik dan apa saja produk keamanan dari pemerintah Indonesia sudah berhasil? Apa sudah mengurangi eskalasi konflik? Bagaimana produk politik dari pemerintah pusat?,” ujarnya.

Elvira kemudian mengatakan bahwa beberapa peristiwa yang terjadi mengenai situasi konflik di Papua. “Sudah banyak jumlah pengungsi yang harus menderita akibat konflik bersenjata tersebut. Banyak anak-anak yang harus terbengkalai untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Masa depan Papua harus dibicarakan bersama masyarakat Papua. Dampak kepada masyarakat sipil sangat luar biasa akibat konflik Papua. Krisis kemanusiaan di Papua, menurut saya kita mau bergerak kemana. Siapapun Presiden nanti, eskalasi kekerasan di Papua diperlukan penyelesaian.

Berbicara eskalasi, kita harus bicarakan solusi. Sebelum berdialog, perlu ada pra dialog dalam menyelesaikan masalah korban dalam konflik Papua dan ini sangat urgent yang harus diselesaikan dan perhentian kekerasan dan krisis kemanusiaan di Papua. Kembalikan pengungsi untuk dapat kembali ke rumah mereka, pulihkan kehidupan ekonomi dan proteksi kemanusiaan dan sosial. Perlu diperjelas status konflik Papua, sehingga bisa diselesaikan dengan framing yang baru,” paparnya.

Pof. Cahyo Pamungkas dari peneliti utama BRIN dalam penjelasan mengenai konflik Papua.”Pelabelan OPM akan berpotensi buruk krisis kemanusiaan yang telah ada. Selama operasi penegakan hukum, sepanjang 2023 terdapat 196 aksi penyerangan dan konflik bersenjata. Dari tahun 1965 hingga 1998, terdapat Operasi Militer yang dilakukan di Papua, tidak dapat menyelesaikan masalah. Pendekatan militer dari 1965-1998 tidak efektif. Pelabelan OPM bisa positif jika dilakukan segera proses perdamaian dengan pembukaan forum dialog mencari solusi politik yang permanen mencapai kedamaian di Papua. Kita sudah saatnya untuk melihat secara kritis, pendekatan militer sangat tidak efektif dan merugikan masyarakat Papua. Dengan berdialog secara damai dengan pihak yang berkonflik, merupakan cara yang modern dan bisa menjadi solusi terbaik di Papua,” pungkasnya.

Usman Hamid dari Direktur Amnesty Internasional Indonesia menjelaskan perlu mengurangi yang kusut dan menghangatkan yang dingin melalui konflik Papua.”Permasalahan konflik di Papua sudah berlapis-lapis. Yang sekarang paling menonjol adalah konflik politik dan konflik bersenjata. Melalui surat dari Panglima TNI kepada seluruh jajaran TNI di Papua, bertanggal 05 April 2024, menyebutkan bahwa kembali lagi istilah KKB, KST, KKSB ke OPM. Melalui ini, pertanyaan nya adalah apa yang harus diselesaikan dalam masalah konflik tersebut. Jika memakai istilah OPM, berarti adanya pengakuan OPM sebagai organisasi politik. Apapun istilah itu, dikembalikan ke OPM, justru konflik senjata harus diturunkan, perlu ada dialog. Pengembalian nama OPM menunjukkan penyelesaian konflik harus menanggalkan senjata. Harus melalui perundingan politik dan dialog damai tanpa ada lagi senjata. Selama menanggalkan senjata, maka bisa menyelesaikan penanganan pengungsi di Papua. Tugas kita menurunkan eskalasi, dengan istilah OPM ini justru bisa menurunkan eskalasi konflik di Papua jika dibicarakan dengan Dialog dan pembicaraan politik damai antar kedua belah pihak bertikai, ” jelas Usman.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri,”Saya sepakat bahwa konflik Papua secara umum staktanasi. Hal ini terjadi karena berbagai level. Dinamika konflik di lapangan adanya kebijakan yang tidak menyelesaikan masalah, sampai hari ini berlangsung dan tidak dapat diselesaikan oleh Pemerintah. Inkonsistensi pemerintah dalam penyelesaian konflik Papua dengan jalan damai, dalam realitas nya tidak efektif. Berbagai era masa jabatan Presiden di Indonesia, semua pendekatan dilakukan. Namun pendekatan keamanan dan militer masih berlangsung. Dengan pemekaran provinsi Papua, tentunya nanti akan ada Kodam-kodam baru yang dibuat. Oleh karena itu pendekatan secara militer harus ditinjau kembali agar konflik segera dihentikan,” pungkas nya. (Ril/).

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *