Penulis OPINI : Sri-Bintang Pamungkas
Saya bukan Ahli Sejarah, tapi sungguh menyesalkan pelajaran Sejarah Indonesia tidak mendapat perhatian yang cukup. Seperti halnya Ilmu Bumi yang juga tidak mendapat perhatian yang cukup, saya sudah lama mencurigai adanya kesengajaan untuk menghilangkan ilmu-ilmu penting itu dari pengetahuan pemuda-pemuda Indonesia. Tujuannya adalah agar mereka tidak mencintai Indonesia sebagai Negara, Bangsa dan Tanah-Airnya.
Baru-baru ini ada berita, bahwa Xi Jinping, Presiden Republik Rakyat Cina, RRC, akan “mengambil” Kalimantan, kalau Indonesia tidak bisa mengembalikan Utangnya kepada RRC. Sekalipun mirip dengan BCA, atau Bank-bank lain, yang mau mengeksekusi lelang sesuatu Agunan ketika Debitornya mengalami Gagal Bayar atas pinjamannya, tetapi saya tidak terlalu percaya atas klaim Xi Jinping tersebut.
Sekalipun begitu isyu tersebut bisa saja menjadi kenyataan. Di Jaman Belanda, Wilayah-wilayah Kesultanan kita banyak diambil dan dikuasai begitu saja oleh Belanda dengan alasan tidak bisa bayar utang, menyalahi perjanjian dan lain-lain.
Menjadi penting, kenapa yang dipilih adalah Kalimantan. Di Jaman Belanda, pulau terbesar Indonesia itu disebut Borneo. Sampai sekarang nama Borneo masih sering disebut oleh orang asing. Apakah kata Borneo punya kaitan dengan klaim Pak Xi atau Jokowi, belum ada yang tahu…
Kita perlu kembali ke jaman sebelum Majapahit. Sebelum 1215, di masa Kertanegara menjadi Raja Kediri, Kertanegara pernah marah dan memotong telinga Meng Chi, Utusan Kekaisaran Cina-Mongol, karena Meng Chi ini menyampaikan pesan agar Kediri takkuk kepada Kekaisaran di Daratan Cina itu.
Lalu ketika Kekaisaran Cina-Mongol ini berada di bawah Kaisar Kubilai Khan, anak Jengis Khan, dikirimlah 20 ribu Tentara Cina-Mongol dengan ribuan jumlah kapal dan logistik, termasuk emas dan perak serta seribu Tentara Berkuda, untuk memerangi Kerajaan Kediri dan menaklukkannya. Kerajaan Kediri ini seringkali berganti nama dengan Singhasari, tergantung pada siapa yang sedang menjadi raja sekalipun dari turunan yang sedarah. Demikian pula ada yang menyebutkan jumlah tentara Cina-Mongol itu lebih banyak lagi, yaitu 30 ribu orang. Mereka juga disebut Tentara Tar-tar, gabungan Cina dan Mongol.
Dalam peperangan di Daerah Aliran Sungai Brantas, dari kota Pelabuhan Gresik sampai Blitar dan Tulungagung, Tentara Tartar tersebut dihancurkan oleh Tentara Kediri. Tentara Berkuda Mongol tidak bisa berkutik, tidak sebagaimana perang mereka di Padang Pasir Gobi atau Padang Rumput Mongolia sana, karena mereka harus berperang Gerilya di hutan belantara di antara Pohon-pohon Maja…yang pahit buahnya.
Adalah Raden Widjaja yang menyusun strategi Perang Gerilya yang dimenangkannya itu. Tiga Panglima Perang Mongol tewas dalam pertempuran tersebut. Puluhan ribu Tentara Cina-Mongol menjadi Tawanan Perang Raden Widjaja diambil Menantu oleh Kertanegara. Raden Widjaja lalu mendirikan Kerajaan Majapahit dengan para Tawanan Perang dipaksa ikut membangunnya. Raden Widjaja menobatkan diri menjadi Raja Majapahit yang pertama.
Kekaisaran Cina-Mongol tidak berani mengulangi peperangan tersebut, melainkan melakukan peperangan ke arah Barat dengan menaklukkan Kerajaan-kerajaan di Asia Tengah, di Bagdad dan Timur Tengah, sampai ke Eropa Barat. Rusia dan Swis didudukinya selama 200 tahun…
Menjelang 1500 Majapahit runtuh bersamaan dengan masuknya Islam yang mendirikan Kesultanan-kesultanan dari Aceh sampai Irian… Tidak lama setelah itu masuklah pula orang-orang Eropa dari Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Mereka masuk ke Nusantara dan mulai melakukan pendudukan dan penjajahan.
Orang-orang Cina dan Keturunan Cina yang sekarang ada di Indonesia dan menjadi Warga Negara Indonesia ini tentulah sebagian besar adalah mereka yang berasal dari Tentara Tar-tar itu. Sebagian lainnya datang langsung dari Darartan Cina sebagai imigran karena ingin hidup lebih enak. Sebagian dari mereka tentu ada yang masih merasa dendam akibat kalah perang; dan mungkin juga karena diperlakukan tidak senonoh, atau sebagai musuh oleh Orang Indonesia Asli.
Mereka yang merasa dendam tentulah memilih memisahkan diri dengan hidup segregatif, merasa lebih hebat, tidak seharusnya kalah dari Orang Indonesis Asli. Mereka ini pada masa Penjajahan juga berpihak kepada Belanda, mencari kawan seiring dan kesempatan membalas. Dendam itu terus ada sampai sekarang. Mereka seharusnya diawasi sebagai warganegara yang dianggap berbahaya.
Tampang-tampang mereka gampang dikenali, seperti para Taipan dan Konglomerat yang berhasil hidup kayaraya dengan berbisnis, baik dengan cara jujur maupun tidak jujur. Mereka tidak ramah kepada Orang Indonesia Asli dan memandang sebelah mata. Bahkan banyak mereka yang berwajah Indonesia Asli tetapi jiwanya Tar-tar. Tetapi banyak pula mereka yang memilih untuk setia kepada Indonesia dan menjadikannya sebagai Tanah Airnya. Saya berteman dan bersahabat dengan banyak dari mereka ini.
Melihat raut mukanya tentulah Jokowi adalah Keturuman Cina. Kalau di antara kita kluyuran di Glodok Jakarta, di Pasar Gede Solo, Biring Harjo Yogya atau Tunjungan Surabaya wajah-wajah Cina yang mirip Jokowi sangat banyak bisa ditemui; dari matanys, pipinya, rahang dan dagunya, tidak bisa lain adalah khas Cina. Saya semakin percaya, ketika Sejarawan Cina sahabat kami Tan Soedji mengatakan nama asli Jokowi adalah Oey Hongliong. Setelah beberapa bulan mencari, Pak Tan mengaku tidak berhasil menenukan jejak Bapaknya yang Cina, selain mengatakam Ibunya Jokowi orang Jawa.
Syahdan seseorang yang ketemu di jalan bercerita cukup panjang kepada saya, bahwa ada saatnya pada jaman Majapahit itu orang-orang Cina Tar-tar itu dalam jumlah besar dipindahkan ke Pulau Kalimantan yang kemudian disebut Borneo itu. Nama mana yabg lebih dulu ada saya tidak tahu Demikian pula saya tidak pernah membaca di dalam Sejarah Indonesia tentang adanya pemindahan mantan Tentara Tar-tar itu ke Borneo; sekalipun mungkin benar ada…
Yang saya pernah baca adalah tentang adanya “kerajaan Cina” atau “komunitas Cina” di Kalimantan Utara yang menyatakan diri sebagai Negara. Mereka membuka pertambangan emas.
Tentunya Orang-orang Tar-tar itu juga bergaul dan hidup bersama dengan penduduk Asli Kalimantan. Kulit mereka yang Kuning Langsat itu sangat mungkin karena Asli Cina atau hasil dari perkawinan silang. Hanya sejarawan dari kalangan mereka yang bisa menulis soal ini.
Kalau benar bahwa Oramg-orsng Cina Tar-tar itu pernah berpindah ke Kalimantan, maka tidak heran kalau Xi Jinping tahu pula tentang sejarah itu. Maka tidak heran, kalau mulai muncul isyu RRC mengklaim Kalimantan sebagai Calon Asetnya.
Tidak pula heran, kalau Oey Hongliong kemudian punya Proyek Membangun Ibukota Indonesia Baru di tengah-tengah Hutan Kalimantan. Ibukota Baru itu persis berada pada satu bujur dengan Ibukota Peking tempat berkantornya Xi Jinping. Sangat mungkin Jokowi kita ini adalah keturunan dari Cina Tar-tar itu, yang masih memendam dendam terhadap Orang Indonesia Asli…
Kebijakan Oey Hongliong dan Xi Jinping mendatangkan jutaan Orang-orang Cina Daratan ke Indonesia harus dianggap sebagai persiapan perang, tidak hanya untuk RRC bisa “mengambil” Borneo saja, tapi untuk menguasai dan menjajah Republik Indonesisa… mewujudkan keinginan Kubilai Khan.
(Jakarta, 17 Juli 2021)
@SBP