JAKARTA, Jacindonews – Siapa sesungguhnya orang yang paling berjasa tentang Pekan Raya Jakarta. Tentunya pertanyaan ini sudah terjawab sejak puluhan tahun silam.
Siapa lagi kalau bukan Bang Ali Sadikin panggilan populer Gubernur DKI Jakarta kala itu. Pada awalnya, Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Djkarta Fair memang dirancang sebagai “Pesta Rakyat”.
Terbukti, pada penyelenggaraan pertama tahun 1968, PRJ sudah mampu menyedot 1,4 juta orang pengunjung. Jumlah yang terbilang sangat fantastis untuk ukuran penduduk Jakarta saat itu.
Sejak itu, PRJ pun jadi pesta tahunan warga Jakarta. Dalam perjalanannya, PRJ berkembang sangat pesat. Hingga membuat kelompok bisnis “ngiler” untuk menjadikan PRJ menjadi ajang untuk menggali keuntungan.
Karena itu, pada tahun 1992, PRJ mulai dipindahkan ke kawasan Kemayoran Jakarta Pusat. Sejak itu pula PRJ dikelola oleh PT JIExpo milik Murdaya Poo.
Selain itu, sejak dikelola oleh PT JIExpo, orientasi PRJ makin mengarah ke profit (keuntungan). PRJ pun terlihat jadi ajang pameran dagang belaka. Tak heran, banyak yang menyindir PRJ tak ubahnya “pesta kapitalis” dan bukan “Pesta Rakyat” sebagaimana yang dicanangkan diawal oleh Ali Sadikin sebagai penggabungan atau pengembangan Pasar Malam Gambir. Karena PRJ merupakan rangkaian dari HUT DKI Jakarta, maka PRJ seharusnya menjadi ajang kebudayaan juga.
Disamping itu, PRJ juga makin makin ekslusif. Tidak semua warga Jakarta, khususnya dari golongan ekonomi bawah, bisa mengakses PRJ. Harga karcis masuk PRJ saat ini sebesar Rp 30.000 untuk hari biasa dan Rp 45.000 untuk hari libur.
Bayangkan, dengan tiket semahal itu, rakyat miskin tentu kesulitan untuk masuk dan menikmati PRJ. Sudah begitu, harga makanan dan barang-barang di Jakarta serba mahal. Tentunya akibat biaya sewa stand yang mahal pula. Alhasil, kalaupun bisa masuk, orang hanya datang untuk melihat-lihat saja.
Sebelumnya, masalah itu juga tertangkap juga oleh Pemda DKI Jakarta. Menurut Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo saat itu, PRJ telah kehilangan roh-nya sebagai hiburan rakyat karena tiket masuk yang sangat mahal.
“PRJ harus dikembalikan ke ruhnya yang semula. Itu pesta rakyat harusnya tiketnya tidak mahal, UKM harus didominankan, kalau yang sekarang kayak (seperti) pameran dagang,” kata Jokowi kala itu.
Oleh karena itu, berkembang keinginan besar dari Pemda DKI untuk mengembalikan PRJ sebagai pesta rakyat. Tak hanya itu, Pemda DKI juga berencana mengembalikan tempat penyelenggaraan PRJ ke kawasan Monas Jakarta. Tentu saja, bagi rakyat Jakarta, ide pemda DKI Jakarta ini sangat positif.
Terlepas dari perdebatan tempat, tetapi ide Pemda DKI Jakarta mengembalikan PRJ menjadi “pesta rakyat” patut disambut positif dan diberi dukungan. Pesta rakyat ini penting sebagai medium interaksi sosial bagi rakyat dari berbagai kalangan. Apalagi, penduduk Jakarta ini berasal dari beragam etnis dan suku bangsa yang sangat heterogin.
PRJ ini juga seharusnya menjadi ajang untuk mengangkat kebudayaan rakyat. Mengingat momentum PRJ adalah HUT Jakarta, maka sudah sepantasnya aspek kebudayaan dan kreativitas rakyat khususnya seni budaya dan kuliner Betawi lebih ditonjolkan.
PRJ juga seharusnya menjadi tempat bagi usaha ekonomi rakyat, bukan hanya segelintir bisnis besar. Pihak pengelola hanya menyediakan 40 persen gerai untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Sisanya untuk bisnis besar. Padahal, dengan kekuatan modalnya, bisnis besar itu sudah bisa jalan dan promosi sendiri tanpa PRJ. Justru ekonomi rakyat, terutama UMKM dan industri kreatif, yang selama ini tidak punya kemampuan untuk melakukan promosi, seharusnya menjadi prioritas utama di PRJ.
Usaha Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan mengubah Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta merupakah sebuah langkah yang sangat korektif demi mengembalikan tujuan utama Pekan Raya Jakarta.
Bahkan menurut Asisten Perekonomian Pemprov, Mara Oloan Siregar kala itu, pihaknya sudah menjelaskan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan memperbaiki peraturan itu untuk mempertegas hak, kewajiban, dan kedudukan antara pihak terkait penyelenggaraan PRJ.
Sebelumnya, KPPU menduga ada praktik monopoli dalam penyelenggaraan PRJ. Dugaan itu muncul karena perhelatan tersebut selalu diselenggarakan oleh PT Jakarta International Expo dan tidak pernah berganti.
Pekan Raya Jakarta (PRJ) dimulai pada 1968 melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1968. Acara itu dilaksanakan oleh badan penyelenggara, yaitu Yayasan Penyelenggara Pameran dan Pekan Raya Jakarta, di Lapangan Monas Sektor Selatan.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 1991, penyelenggaraan PRJ pindah ke Kelurahan Kemayoran, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Penyelenggaranya adalah PT Jakarta International Trade Fair Corporation. Berdasarkan dua peraturan itu, PRJ milik Pemerintah Provinsi DKI.
Pada 2003 terjadi peralihan hak kepemilikan lahan dari PT Jakarta International Trade Fair Corporation. Akibatnya, setahun kemudian, PRJ dilaksanakan oleh PT Jakarta Propertindo bekerja sama dengan PT Jakarta International Expo. Kemudian, sejak 2005 sampai 2009, PRJ diselenggarakan oleh PT Jakarta International Expo hingga saat ini.
Laporan keuang PT JIExpo tentang penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta, menembus angka yang sangat fantastis yaitu kurang lebih 7 triliun rupiah.
Sebagaimana dilansir oleh beberapa media pada beberapa tahun silam, rupanya kontrak kerja antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT Jakarta International Expo (JIExpo), juga telah lama didalami Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Berdasarkan pengamatan sementara ada indikasi ke arah monopoli dibalik kontrak itu.
Agar tak terjadi praktik monopoli, KPPU telah melayangkan rekomendasi ke Pemprov DKI Jakarta. Kepala Biro Humas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), A. Junaidi, mengatakan KPPU telah melakukan pemantauan peraturan-peraturan yang berpotensi monopoli, termasuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12/1991 tentang Penyelenggaraan PRJ.
Karena itu, kata Junaidi dimasa kepemimpinannya, KPPU telah memberikan rekomendasi kepada Gubernur DKI Jakarta dan Sekretariat Negara untuk merubah Perda dan peraturan tentang penyelenggaraan PRJ.
“Sekiranya tidak ada tindak lanjut, nanti kami selesaikan proses penegakan hukumnya,” kata Junaidi sebagaimana dikutif dari Republika.id beberapa tahun silam.
Direktur Utama PT JIExpo, Hartati Murdaya, mengaku setuju jika Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta dirubah.
“Apabila Pemprov DKI ingin melakukan tender terhadap penyelenggaraan PRJ, maka Perda-nya harus dirubah. Ini sudah masuk dalam ranah hukum dan proses perubahannya tidak sebentar,” kata Hartati.
Hartati juga mengatakan, apabila pengelolaan PRJ dilakukan melalui tender, maka hibah saham sebesar 13 persen yang selama ini diberikan kepada Pemprov DKI harus dikembalikan.
“Pelaksanaan PRJ yang dilakukan selama ini sudah sesuai aturan. Apabila ditender maka saham tersebut harus dibayarkan. Kita akan ikuti aturan pemerintah” kata Hartati.
Diketahui secara informatif bahwa laporan keuang PT JIExpo tentang penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta, menembus angka yang sangat fantastis yaitu kurang lebih 7 triliun rupiah.
Sementara sosok anak Betawi, Jalih Pitoeng, mengatakan bahwa PRJ atau Pekan Raya Jakarta Kemayoran saat ini telah keluar jauh dari arah dan cita-cita sekaligus melupakan sejarahnya.
Dimana Pekan Raya Jakarta atau Djakarta Fair saat itu dimaksudkan untuk memberikan hiburan yang murah dan meriah bagi warga Jakarta dan sekitarnya dalam rangka memeriahkan hari jadi kota Jakarta pada tiap tahunnya.
“PRJ bukanlah event pameran sebagaimana International Exhibition diberbagai negara dan yang hanya mengutamakan keuntungan semata. Tapi PRJ harus menjadi sebuah pesta rakyat dalam memperingati sekaligus memeriahkan hari jadi kota yang dicintainya” ungkap Jalih Pitoeng mengingatkan.
Ketua Presidium Aliansi Selamatkan Indonesia (ASELI), berharap agar pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal ini Setneg dan Pemda DKI khususnya Pj Gubernur, Sekda dan Deputi Bidang Kebudayaan untuk melakukan evaluasi kembali secara totalitas.
“Saya berharap agar pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam hal ini Setneg selaku pengelola aset milik negara dan Pemda DKI selaku pemilik wilayah serta Deputi Bidang Kebudayaan sebagai pemegang otoritas, untuk meninjau kembali dan melakukan Re-Evaluasi secara totalitas” pinta Jalih Pitoeng.
“Karena, jika Penyelenggaraan PRJ diselenggarakan berdasarkan ekonomi Liberalis dan Kapitalis, kagak kebayang bagaimana nanti kedepannya. Saat ini saja sudah teramat banyak rakyat kecil, dalam hal ini masyarakat inti Jakarta yaitu kaum Betawi yang tak mampu membeli karcis atau tiket masuk ke Pekan Raya Jakarta. Padahal selayaknya mereka mendapatkan hak istimewa” kata Jalih Pitoeng.
Jalih Pitoeng juga sangat mengkhawatirkan jika pemerintah berdiam diri. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta.
“Apalagi kedepan. Dimana rumus ekonomi liberal yang mengacu pada Demand and Supply atau pasar bebas terbuka. Besar kemungkinan bisa jadi bagi orang Betawi menjadi sangat istimewa jika bisa masuk ke PRJ karena harga tiket yang terus melambung tinggi” Sambung Jalih Pitoeng penuh khawatir.
Selain mahalnya tiket masuk, aktivis yang dikenal sangat kritis ini juga menyoroti tentang mahalnya sewa tenda atau stand untuk berjualan kuliner khas Betawi.
“Coba bayangkan betapa mahalnya harga sewa yang dikenakan terhadap para pedagang sekaligus pelestari kuliner khas Betawi. Contoh saja seperti ‘Kerak Telor’ misalnya yang mencapai angka 17 juta. Kan gila ini” sesal Jalih Pitoeng.
“Bulshit aja jika kita ngoceh peduli tentang budaya Betawi” Imbuh Jalih Pitoeng menggerutu.
“Ini bukan sekedar soal ecek-ecek tentang Kerak Telor. Tapi ini soal kebijakan Tripartit tentang tata kelola PRJ yang perlu diperhatikan untuk di re-evaluasi untuk disempurnakan” tegas Jalih Pitoeng.
Padahal mereka adalah masyarakat inti Jakarta sekaligus pewaris yang ingin merayakan hari jadi kotanya yang telah diperjuangkan oleh para leluhurnya 6 abad yang silam. IRONIS…!!!