Oleh : Andy Boxer (Ketua Poros Alternatif).

JAKARTA | JacindoNewsRabu (26/07/2023). Secara teori, Politik adalah “Upaya meraih kekuasaan” (Teori klasik Aristoteles), dan lebih dalam lagi penekanan teori politik klasik nya terletak pada watak manusia termasuk didalamnya personal emosi, pemahaman yang salah dalam teori ini akan menjadi sesuatu yang fatal dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara.

Kondisi ini yang terjadi di Indonesia saat ini, upaya dalam meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara tanpa melihat dan mempertimbangkan efek yang akan terjadi dalam kehidupan bernegara termasuk sosial kemasyarakatannya, dengan menafikan etika hingga moralitas individu para pelaku politik dan elit kekuasaan, bangsa ini seakan semakin jauh dari falsafah kearifan lokalnya sebagai jatidiri anak bangsa sejati.

Mencermati manuver elit kekuasaan terhadap partai-partai oposisi, hingga ada beberapa diantaranya sampai salah mengatur ritme dan strategi demi mengamankan posisi partainya, bahkan sebuah partai senior yang cukup memiliki karakter dan dikenal sebagai partai intelektual pun dapat terjebak dalam situasi sulit dan dilematis yang diciptakan kekuasaan demi mengamankan dominasi politiknya di 2024 yang akan datang, sampai mampu “mengorbankan” kader muda nya yang memiliki potensi besar dimasa depan.

Peristiwa yang terjadi terhadap Menpora termuda Dito Ariotedjo yang baru seumur jagung atau baru genap seratus hari kerja dilantik sebagai menteri adalah salah satu contoh dari efek intervensi kekuasaan terhadap partai politik, sosok Dito Ariotedjo yang cerdas, muda dan berbakat karena melalui proses politik merupakan sebuah kesalahan fatal partai Golkar dalam menyikapi kondisi politik yang ada, sebagai kader muda dari partai Golkar seharusnya Golkar mampu menjaga dan membina kader mudanya sebagai potensial figur partai dimasa depan karena Dito bukanlah kader karbitan tetapi melalui proses perjalan politik yang baik dan panjang dimulai dari organisasi sayap partai.

Dan tidak cukup disitu, manuver intervensi kotor kekuasaan pun telah dilakukan sebelumnya dengan mencoba mengkudeta partai Demokrat namun menemui kegagalan hingga proses hukum berlangsung dua kali PK (peninjauan kembali).
Saat ini kembali intervensi kekuasaan dilakukan terhadap partai Golkar, setelah Aerlangga Hartarto sebagai ketua umumnya dinilai gagal menaikan elektabilitas partai maupun pribadinya, beberapa pengamat menilai Aerlangga sebagai ketua umum kurang populer setelah dari beberapa survey yang dilakukan menenpatkan posisinya dibawah beberapa tokoh partai dan nonpartai lainnya dengan prosentase suara 0,85%, ada stagnasi dimana masyarakat hingga pengamat menilai Aerlangga seakan kurang mampu membuat keputusan maupun langkah strategis yang krusial hingga kurang berani mengambil keputusan atau mengubah strategi partai koalisi dibawah kepemimpinan partainya.

Seharusnya Aerlangga Hartarto sebagai ketua umum partai Golkar mampu menunjukan dirinya sebagai fighter politik sejati dari sebuah partai besar ke dua setelah PDIP pasca pemilu 2019 kemarin, terlebih setelah terpecahnya koalisi partainya dengan mendukung dan bergabung dengan koalisi pendukung Anies Baswedan dalam koalisi Perubahan secara terbuka misalnya, sehingga jelas nilai tawarnya, dan sebagai fighter politik walaupun harus mendapat pukulan setidaknya Aerlangga bersama partai Golkarnya tidak harus terbantai melalui manuver brutal kekuasaan seperti yang saat ini terjadi, apalagi beberapa elitnya hadir dalam acara apel siaga perubahan yang digagas oleh partai Nasdem beberapa waktu yang lalu terlepas hal tersebut hanya inisiasi pribadi beberapa elit partai atau menjadi sebuah instruksi partai, sebagaimana yang dilakukan partai Demokrat dengan melakukan perlawanan politik yang keras terhadap kelompok Moeldoko. (Jac-Red)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *