JN, Jakarta – Tim kuasa Hukum Dr. Ike Farida, Kamaruddin Simanjuntak SH meminta Kapolda Metro Jaya untuk menghentikan LP dengan No.LP/B/4738/1X/2021/SPKT/Polda Metro Jaya, yakni laporan Polisi yang dilakukan oleh pengembang PT Elite Prima Hutama terhadap Kliennya Dr. Ike Farida, S.H.,LL.M, konsumen Tower Avalon Kota Casablanka yang merupakan korban kriminalisasi untuk dihentikan. Karena terbukti LP tersebut rekayasa dan fitnah,” ujar Kamaruddin Simanjuntak SH di Polda Metro Jaya 22/2/24.
Lebih lanjut Kamaruddin Simanjuntak menjelaskan, Dr. Ike Farida adalah pembeli 1 unit Apartemen di Casa Grande pada tahun 2012 dimana pengembang tidak menyerahkan unit apartemen yang dibelinya secara lunas, dengan alasan Ike kawin dengan WNA dan tidak punya perjanjian kawin. Namun meskipun Ike telah memenangkan seluruh persidangan di Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, Mahkamah Konstitusi, gugatan perlawanan dan lainnya, pengembang tetap menolak serahkan unit apartemen kepada Ike sebagai pembeli yang sah. Malah, pengembang melaporkan Ike ke Polda Metro dengan tuduhan melakukan sumpah palsu dan membuat dokumen palsu, sebagaimana Pasal 242, 263 dan 266 KUHP kornologi gelar perkara kasus LP 4738/2021 sebuah rekayasa pengembang PT EPH cipta kondisi & Fitnah terhadap konsumenya Dr. Ike Farida, SH, LLM pada oktober 2023,” jelas Kamaruddin Simanjuntak.
PT EPH menyatakan setuju untuk menyerahkan unit secara sukarela beserta kunci dan akses pintu, dengan demikian dengan adanya tindakan ini menandakan bahwa EPH mengakui bahwa” Ike Farida tidak melakukan sumpah palsu dan membuat dokumen palsu di mana PT EPH mengakui bahwa mereka telah melakukan wanprestsi sehingga sejatinya tidak pernah ada sumpah palsu, keterangan palsu atau kata palsu apapun,” ungkap Kamarudin Simanjuntak SH selaku tim kuasa Hukum Dr. Ike Farida.
Kejangglaan atas kriminalisasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan serta pelanggaran Hukum, Ike Farida tidak pernah bersumpah untuk berikan surat kuasa untuk bersumpah berita acara sumpah novum di lakukan oleh Monika kuasa hukum Ike dimana dia bersumpah atas nama dirinya sendiri dengan kesadaran penuh telah menemukan novum,” terang Kamaruddin Simanjuntak sekali lagi.
Ike Farida tidak pernah menyuruh kuasa hukumnya untuk memberikan keterangan palsu ke dalam satu akta otentik dan terbukti melalui berita acara sumpah Novum, dia telah menemukan novum bukan atas nama Ike Farida, berdasarkan yurispudensi dan berdasarkan tiap unsur pada pidana Pasal 242, 363 & 266 KUHP pidana, pada ketentuan tersebut tidak terpenuhi sehingga Ike Farida tidak bersalah & pelaporannya hanya mengada ada saja dan upaya hukum Ike Farida mendapatkan haknya,” tandasnya.
Lembaga Independen & Tim Kuasa Hukum Ike menemukan pelanggaran masif PT EPH Tower Avalon tidak memiliki serifikat Laik fungsi ( SLF) Tanah HGB PT EPH di bebani Hak Tanggungan juga tidak memiliki P3SRS & PPSRS pembeli di paksa tanda tanggani PPJB & AJB baku sesuai kehendak kepentingan & keuntungan pengembang unit tidak sesuai ekspektasi oknum pengembng berikan unit tidak sesuai kualitas bangunan dan furniture tidak sesuai, buruk bahkan unit baru terlihat seperti unit bekas pakai tidak ada serahkan sarana & prasarana kami mohon penegakan hukum pemerintah kepada PT EPH selaku pengembang Apartemen casa grande residen untuk segera serahkan SHMSRS pengawasan serta pengendalian perizinan & penerbitan SHMRS dari kantor pertanahan sudin disperakim & sudin cipta karya kepada pengembang, “kami meminta kepada polda metro jaya agar segera menerbitkan SP 3 dan di lakukan segera gelar perkara,” harap Kamarudin Simanjutak.
Sementara itu dalam keterangannya, Dr. Ike Farida, SH, LL.M., mengungkapkan “Pada tahun 2012, saya membeli 1 unit apartemen di Casa Grande Residence, seharga 3 Milyar 50 Juta dari PT. EPH secara lunas, namun kemudian PT. EPH menolak menyerahkan Apartemen tersebut, dengan alasan bahwa saya bersuamikan Warga Negara Asing (WNA), sementara itu, setelah dilakukan koordinasi dengan BPN, tidak ada larangan bagi saya sebagai Warga Negara Indonesia untuk memiliki Property di Indonesia, sesuai surat yang kami terima dari BPN, No. 931/17.1-300/II/2015.”.
“Sepanjang tahun 2015-2023, saya memenangkan seluruh upaya hukum yang ada, baik melalui Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, yaitu Putusan Consignatie No. 2981 K/PDT/2015 (18 Agustus 2016, Putusan MK No. 69/PPU-XII/2015 (27 Oktober 2016), Putusan No. 53 PK/Pdt/2021 (13 April 2021), Putusan Consignatie No. 984 PK/Pdt/2021 (15 Desember 2021), Putusan Perlawanan No. 119/Pdt.Bth/2022/PNJktSel (27 Juli 2022), Putusan Banding No. 130/2023/PTDKI (20 Maret 2023), Dan Putusan Perlawanan No. 300/Pdt.Bth/2023/PNJktSel (14 September 2023)” lanjutnya
“Di tahun 2021, PT. EPH menolak melaksanakan putusan MA dan bahkan melaporkan saya dengan tuduhan memberikan keterangan palsu, memalsukan surat danemalsukan akta otentik, sehingga dilarang meninggalkan Indonesia, hingga tahun 2024 ini.” lanjutnya lagi.
“Dan faktanya, saya tidak pernah melakukan sumpah atas Novum dalam putusan PK. No. 53/2021 dan tidak pernah memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya untuk hal tersebut,” ujarnya lagi.
“Dan pada tanggal 24 Oktober 2023, PT. EPH menyatakan setuju untuk menyerahkan unit secara sukarela beserta kunci dan akses pintu, namun tetap tidak mau menyerahkan Sertifikat Kepemilikan, dimana pada kenyataannya, sertifikat tersebut telah menjadi agunan untuk pinjaman PT. EDH di salah satu Bank,” ungkapnya.
Sedangkan Ahli Ilmu Hukum Pidana Dr. Yongki Fernando SH MH sekaligus Dosen Pasca Sarjana Universitas Borobudur Jakarta menyampaikan, Didalam persangkaan ini adalah pasal 242 KUHP Pidana, kalau saya tidak salah tangkap yang di gunakan adalah ayat 1. Perlu saya sampaikan bahwa didalam pasal tersebut terdiri ada 2 ayat, yaitu ayat 1 dan ayat 2. ayat 1 dengan ancaman 7 tahun, ayat 2 dengan ancaman 9 tahun. Didalam ayat 2 secara eksplisit dinyatakan, yang dimaksud perbuatan sumpah palsu atau kebohongan di peradilan pidana itu di ayat 2 dengan ancaman 9 tahun,” ujarnya.
Pertanyaan hukumnya, apakah di ayat 1 diperuntukan sumpah palsu diluar peradilan pidana, jawaban saya bukan. Tapi masuk dalam peradilan sistim pidana yang serumpun dengannya. Siapa yang serumpun dengannya, satu peradilan administrasi negara, dua peradilan tata usaha negara. Jadi didalam hal ini hanya dua peradilan tersebut itu dapat di katakan serumpun dengan peradilan pidana, mengapa, karena secara doktrin bahwa hukum pidana itu adalah hukum publik, hukum administrasi negara itu hukum publik, hukum tata usaha negara itu hukum publik dan diluar itu adalah hukum privat seperti contohnya UU keperdataan itu adalah hukum privat,” terangnya.
Semua tata acara hukum privat tidak bisa di tarik menjadi bagian dari pada tindak pidana yang di maksud dalam ketentuan pasal 242 termasuk sumpah. Terlepas sumpah itu benar atau tidak benar, sepanjang itu ada di peradilan perdata dia tidak bisa di tarik menjadi ranah tindak pidana sebagaimana yang di maksud dalam pasal 242 ayat 1 tidak bisa. Jadi begini, ada syarat yang harus di laksanakan terlebih dahulu untuk menetapkan seseorang itu melanggar ketentuan pasal tersebut,” tukasnya.
Satu berdasarkan hukum acara pidana terdapat di dalam pasal 174, Hakim harus menetapkan terlebih dahulu bahwa saksi yang sedang bersaksi ini adalah saksi palsu, harus di tetapkan terlebih dahulu oleh Hakim, bukan serta merta penyidik dapat menetapkan seorang tersangka diluar peradilan, harus ada penetapan terlebih dahulu, di buat acara pencatatan sidang pidana dan di lanjutkan di serahkan kepada jaksa untuk di lakukan penuntutan melalui proses penyidikan lebih dulu itu prosesnya, sesuai jalan hukum acara pasal 174. Di luar itu tidak bisa serta merta itu dapat di tetapkan seorang itu melakukan sumpah palsu di muka persidangan,” jelasnya.
Jadi sekali lagi dalam hal ini saya menyatakan, menyampaikan seluruh hukum acara perdata, terjadi sumpah palsu atau tidak sumpah palsu, tidak bisa di tarik menjadi tindak pidana pasal 272, baik ayat 1 maupun ayat 2 kecuali di dalam peradilan tata usaha negara, itu kecuali, karena itu rumpun hukum pidana itu saja yang bisa saya tegaskan,” tutupnya. *(LI)