JAKARTA | Jacindonews – Upaya kuasai dan monopoli wilayah pesisir pantai di perairan Indonesia merupakan pelanggaran Peraturan Presiden RI No 51 tahun 2016. Bahkan lebih dari itu dengan bangun dan kuasai wilayah pesisir pantai merupakan sebuah tindakan memiskinkan dan membunuh mata pencarian warga setempat.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Pengurus Pusat DPP. GPSH (GERAKAN PENGAWAL SUPREMASI HUKUM) H. Mohamad Ismail, SH, MH sehubungan dengan pemerintah RI makin getol dan marak terbitkan ijin Reklamasi pesisir pantai di beberapa wilayah di Indonesia.
“Masyarakat luas terutama penduduk pantai dan kaum nelayan tidak bisa lagi merapat atau berlabuh di pantai pantai yang sudah direklamasi” ungkap ketua umum GPSH di Jakarta, Senin (08/07/2024).
“Atas perintah juragannya para satpam dan para penjaga disitu akan galak usir siapapun. Padahal sesuai Peraturan Presiden RI No. 51 tahun 2016 Pasal 1 Ayat (2) bahwa garis sepadan pantai itu batasnya 100 meter dari pasangnya air laut tertinggi” lanjut Mohamad Ismail menegaskan.
“Jadi kawasan reklamasi dan pulau-pulau kecil dimanapun seharusnya bisa mengijinkan masyarakat umum dan nelayan untuk bisa berusaha mencari nafkah mendekat ke pantainya, minimal 100 meter dari bibir pantai. Pada kenyataannya kini nelayan harus jauh-jauh ke tengah laut mencari ikan. Karena disekitar Reklamasi ikan maupun biota laut lainnya sudah enggan mendekat” sambung Ismail.
“Ini merupakan upaya pembunuhan pelan-pelan mata pencarian warga setempat dan juga kaum nelayan Indonesia,” sesalnya.
Didampingi Sekjen DPP GPSH, Drs. H. Hasan Basri, Mohamad Ismail mengatakan bahwa dengan mata telanjang dapat kita tonton ladang dan tambak-tambak ikan yang semula bisa hidupi ribuan warga sepanjang pantai, kini tidak ada lagi. Ribuan tambak ikan sudah berubah diurug tanah untuk proyek proyek ‘ketamakan’ penguasa. Mereka yang puluhan tahun menjaga dan mendiami pesisir pantai tidak lagi bisa mendekat ke lokasi tanah miliknya. Jika coba-coba mendekat dan berniat membuka usaha lama di tempat itu maka pentungan polisi dan penjara imbalannya. Oknum oknum penegak hukum tidak lagi jadi pengayom rakyat tapi sudah berubah jadi ‘centeng centeng konglomerat’ sebagai juragannya” Ismail menyesalkan.
Menurut Mohamad Ismail aneh memang tidak pakai dana APBN tapi masuk dalam Proyek Strategis Nasional. Rejim ini seenaknya memasukan proyek reklamasi itu sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional. Sehingga konglomerat-konglomerat kaya itu berbekal PSN mereka berbuat seenaknya. Tidak boleh ada yang mengganggu. Sementara kaum nelayan dan masyarakat lain yang sebelumnya hanya punya mata pencariannya di sekitar pantai PSN tadi tambah miskin dan tidak lagi jadi perhatian para penguasa.
Mohamad Ismail juga bertanya kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat nilai ekonomi seperti apa dengan menerbitkan ijin-ijin Reklamasi itu. Yang jelas saat ini kemelaratan terus menyelimuti kehidupan kaum nelayan dan warga RI sepanjang Reklamasi. Bagi kaum Nelayan dan warga pesisir pantai sepertinya tidak punya Presiden, tidak punya menteri, tidak punya Gubernur dan juga tidak punya Bupati. Karena semua kebijaksanaan tentang pantai dan lautan tidak lagi memperhitungkan keberadaan mereka yang semakin papa.
Disisi lain Ketua Umum GPSH itu berharap Mentri Kelautan dan Presiden yang baru nanti tidak “buta” dan tidak “tuli” untuk bisa melihat ketidak adilan ekonomi warga pesisir pantai dan kaum nelayan. Paling tidak hal ini kelak akan jadi salah satu perhatian presiden baru yang sosoknya selama ini dikenal cinta pada petani dan nelayan. (Ril/).