JAKARTA | Jacindonews – Berbicara situasi politik nasional belakangan ini penuh ketidak pastian. Hari ini berita begini, besok faktanya menjadi lain. Hal seperti itu terus terjadi. Masyarakat menjadi bingung. Tentu sangat banyak berita simpang siur, baik dari pihak pemerintah maupun yang berasal dari masyarakat. Sulit terkontrol mana yang valid dan mana yang hoax.
Contohnya soal Wantimpres yang sudah diatur Undang-undang no. 19 tahun 2006 mau diobok-obok dengan nominklator baru menjadi DPA ( Dewan Pertimbangan Agung ).
Soal DPA sudah pernah diatur dalam konstitusi sebelum amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali.
Yang jadi masalah nomenklatur DPA dari revisi UU Wantinpres. Kemudian DPA ini akan disejajarkan dengan presiden sebagai sama-sama lembaga tinggi negara. Apa mungkin DPA yang dibuat dengan Undang-undang disejajarkan dengan sistim presidencial. Sebuah Undang- undang tidak boleh disejajarkan dengan presiden, kecuali meng-amandemen UUD atau kembali ke UUD 1945 asli. Itu baru benar.
Andai kata DPR dan Pemerintah setuju merevisi UU Wantimpres menjadi UU DPA sudah pasti akan menjadi kontroversial, menimbulkan masalah ketatanegaraan dan berujung menjadi kegaduhan ditengah masyarakat. Selain itu presiden baru bisa terganggu. Juga DPA tersebut bisa menohok presiden, dengan alasan jabatan DPA sejajar dengan presiden.
Kalau toch ada keinginan untuk membuat semacam presiden club, untuk menampung para mantan presiden, revisi saja sedikit UU Wantimpres, dengan merubah nomenklatur menjadi DEWAN PENASIHAT PRESIDEN ( WANHATPRES ). Itu jauh dari kebisingan politik, ketimbang pakai istilah DPA.
Dengan istilah WANHATPRES maka narasinya tinggal ditambah, yang mana presiden wajib dan sungguh-sungguh melaksanakan Nasihat tertulis dari WANHATPRES.
Cara ini jauh lebih ideal dan tidak menimbulkan kontroversial. Dan WANHATPRES hanya sebuah Dewan yang tidak sejajar dengan presiden.
Apakah tujuanya untuk bagi-bagi kekuasaan? Berapa milyar lagi uang negara untuk menggaji tuan-tuan ini? (**).
Djafar Badjeber
Pemerhati Politik