JAKARTA | Jacindonews – Korupsi adalah merupakan salah satu kejahatan luar biasa diantara kejahatan luar biasa lainnya seperti Terorisme dan NARKOBA. Korupsi selain dapat merongrong keuangan negara, dia juga dapat merugikan sekaligus merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akhir-akhir ini marak pristiwa korupsi melanda negeri ini. Angka-angka pantastis mengiasi layar kaca dan headline berita dimana-mana. Bukan hanya milyaran rupiah. Tapi ratusan milyar bahkan ratusan triliun rupiah. Rasa malu dan rasa berdosa seakan telah lepas dari jiwa manusia.
Maka tak heran jika banyak pelaku korupsi yang masih bisa ketawa ketiwi saat lembaga penegakan hukum dan pemberantasan korupsi menampilkan mereka saat ditangkap dan ditahan. Baik oleh pihak kepolisian, Kejaksaan maupun lembaga yang secara khusus dibangun untuk urusan anti rasuah yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Sebagaimana diketahui bersama, Prabowo Subianto adalah salah satu Capres yang menitik beratkan pada pemberantasan korupsi.
Hal tersebut diungkapkan pada closing statmen nya diakhir debat capres pada awal tahun 2024 lalu.
Bahkan jika kita telisik lebih jauh, Prabowo sudah bicara lantang pada setiap pidato dan kampanye nya sejak dirinya mencalonkan diri sebagai presiden republik Indonesia.
Tepatnya sejak Pemilu 2014, 2019 hingga pemilu 2024, Prabowo selalu bicara tentang kebocoran anggaran. Dimana kebocoran anggaran pembangunan akibat korupsi telah merugikan negara dengan jumlah triliunan rupiah.
Beruntunglah pada pemilu dan pilpres 2024 kemenangan berpihak padanya. Putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo ini akhirnya didaulat oleh rakyat menjadi seorang presiden republik Indonesia ke 8.
Ratusan vedeo dan berita tentang kegigihan dan komitmennya mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia seakan memberi harapan baru bagi ratusan juta rakyat Indonesia.
Diawal kepemimpinannya yang belum berumur 100 hari, kita telah disajikan berbagai informasi dan berita tentang penangkapan para pelaku korupsi yang bernilai ratusan triliun rupiah.
Korupsi pengelolaan sumber daya alam timah yang bernilai ratusan triliun hingga yang terakhir baru-baru ini terjadi pristiwa korupsi yang diduga terjadi di dinas Kebudayaan DKI Jakarta dengan angka yang sangat pantastis yaitu ratusan milyar rupiah.
Bahkan penulis menduga kuat korupsi dan manipulasi yang berlindung dibalik pelestarian dan pengembangan budaya Betawi tersebut dilakukan secara terorganisir, terstruktur, masif dan sistemik dalam kurun waktu yang cukup lama.
Berdasarkan temuan dan aduan serta laporan para korban yang berpredikat sebagai pegiat seni budaya dan hasil penggeledahan yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang menemukan ratusan stampel palsu serta uang tunai milyaran rupiah, seakan mengkonfirmasi tentang kecurigaan dan dugaan kuat penulis atas pristiwa tindakan korupsi dan manipulasi bak Dracula pengisap darah yang telah merampas hak-hak ribuan nyawa manusia.
Karena selain mereka merampas hak-hak para pelaku seni dan budaya, mereka juga telah merampas hak-hak keluarganya untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak sebagaimana amanat undang-undang. Bahkan undang-undang dasar 1945 sebagai dasar berbangsa dan bernegara.
Karena mereka telah merampas hak-hak para pegiat seni budaya yang berjumlah ratusan sanggar dan lembaga yang tersebar di 6 wilayah ibukota Jakarta.
Selain korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, maka didalam kasus korupsi yang terjadi di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, korupsinya pun merupakan pristiwa yang sangat luar biasa.
Selain upaya gigihnya dalam pemberantasan korupsi, beredar pula kabar tentang adanya upaya pengampunan atau Amnesty bagi para pelaku korupsi.
Dua hal yang sesungguhnya sangat bertolak belakang tentang makna, maksud dan tujuan. Yaitu pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Ditengah polemik yang terjadi, masyarakat juga dikejutkan dengan ringannya tuntutan Jaksa serta putusan hakim terhadap pelaku korupsi Harvey Moeis yang hanya dijatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan. Padahal hebohnya berita tentang korupsi timah senilai 300 triliun tersebut merebak keseluruh jagad Nusantara.
Banyak rakyat yang kecewa. Kecewa atas ketidak adilan yang melanda negeri ini. Seorang pencuri bisa dihukum 6 tahun, sementara koruptor ratusan triliun hanya dijatuhi hukuman dengan waktu yang sama. Atau setidaknya tidak jauh berbeda.
Rangkaian pristiwa ini sesungguhnya melukai sekaligus menodai peradilan yang seharus diterapkan sebagai negara yang berfalsafah Pancasila.
Banyak masyarakat, rakyat serta kelompok dari berbagai komponen dan elemen yang menginginkan agar pelaku korupsi dihukum mati sebagai efek jera bagi yang lainnya.
Selain dihukum mati, beberapa pegiat anti korupsi juga meminta agar dilakukan perampasan aset dan kekayaan hasil korupsi.
Sebut saja salah satunya adalah Forum Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (FORMASI). FORMASI mendesak agar Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI segera mengesahkan RUU Perampasan Aset menjadi UU Perampasan Aset.
Bahkan selain itu, organisasi yang dibangun oleh mantan tahanan politik sekaligus narapida politik di era pemerintahan Jokowi tersebut meminta agar selain dilakukan perampasan aset oleh negara, ada juga upaya pemiskinan terhadap keluarga koruptor sebagai salah satu upaya pencegahan sekaligus efek jera bagi yang lainnya.
*ASPEK YURIDIS*
Dalam pandangan yuridis, saat ini Indonesia memang tidak memiliki payung hukum untuk memberikan hukuman gantung maupun hukuman mati terhadap para pelaku korupsi.
Oleh karena itu, tidak sedikit para pelaku korupsi yang berusaha dengan segala cara menggunakan uang haram mereka demi meringankan hukuman bagi mereka para pelaku tindakan korupsi.
Bahkan lebih dari itu, dengan hasil korupsi yang jumlahnya sangat pantastis, mereka masih bisa membangun kekuasaan baru usai menyelesaikan dan atau menjalani hukuman penjara yang banyak mendapatkan potongan hukuman.
Maka diberbagai kesempatan, baik diskusi maupun tulisan dalam pemberitaan, sering penulis mengatakan bahwa “Buslshit” Indonesia bisa mencegah dan memberantas korupsi jika payung hukum dan sanksi hukum nya masih menjadi permadani syorga bagi para pelakunya.
Hanya hukuman mati dan perampasan aset sekaligus pemiskinan terhadap keluarga koruptor lah yang mampu dijadikan sebagai efek jera.
Tanpa itu rasanya seperti mimpi disiang hari. Aturan, hukum dan perundang-undangan hanya menjadi macan kertas semata. Berantas korupsi hanya sebatas jargon dan retorika konsumsi politik belaka.
*ASPEK RELIGIUS*
Didalam tatanan masyarakat Indonesia ada norma, agama, budaya, sosial dan moral. Para pelaku korupsi sebagian besar bahkan dapat dikatakan hampir seluruhnya sebagai penganut agama.
Namun bagaimana mereka memahami dan memaknai sekaligus menerapkan ajaran agama mereka, seakan kalah dengan syahwat dan nafsu serakah yang merasuki jiwa mereka.
Memangku jabatan dengan sumpah atas nama tuhan mereka, seperti buih diatas gelombang samudra.
Hedonisme dan gaya hidup bermewah-mewahan tanpa merasa berdosa merampok uang rakyat melalui fasilitas negara, mereka bisa nikmati bersama keluarganya dengan bangga diatas penderitaan rakyat yang menjadi korbannya. Pertanyaannya adalah, pantaskan mereka disebut umat yang beragama.
*ASPEK SOSIAL & MORAL*
Selain melanggar hukum, korupsi juga melanggar etika, sosial dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mereka seakan lupa bahwa mereka hidup dibumi Indonesia. Sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, agama dan budaya.
Pola dan gaya hidup yang mereka anut mencerminkan sifat-sifat tamak, rakus, dan tak berprikemanusiaan.
Indonesia yang dikenal sebagai negara yang memiliki kultur dan budaya gotong royong sekaligus tepo seliro, mestinya orang-orang seperti mereka tak pantas hidup dibumi Nusantara.
Karena kejahatan yang mereka lakukan dan kekayaan haram yang keluarga mereka pamerkan sesungguhnya adalah sebuah manipestasi bahwa mereka bangga dengan hidup yang bergelimang dosa.
Pantaskan mereka disebut orang yang bermoral. Tentu jawabnya tidak. Mereka menikmati harta dan kekayaan hasil merampok kekayaan negara yang sesungguhnya milik rakyat Indonesia.
Jutaan rakyat menderita akibat perbuatan tangan-tangan kotor tak bermoral. Bangga dengan dosa-dosa, lalai dengan selaksa kesalahan serta tega melihat saudaranya menderita.
Sebagai penutup, penulis berharap akan timbulnya kesadaran kolektif tentang bahaya nya korupsi yang merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara dinegeri ini sekaligus mengajak seluruh elemen bangsa untuk tidak kompromi pada korupsi. Karena selain dilarang oleh agama, hukum negara, korupsi juga merupakan musuh kita bersama.(ril/)
Oleh : Jalih Pitoeng
Pendiri/Ketua FORMASI