BOGOR | JacindoNews – Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) terkait penguatan kebudayaan yang dibahas oleh Kaukus Muda Betawi di Ciburial, Puncak, Bogor, Jawa Barat mendapat apresiasi dari ketua umum Jalih Pitoeng Centre.

Selaku salah satu pemerhati sosial politik dan budaya, Jalih Pitoeng Centre menilai bahwa Raperda tersebut merupakan buah hasil pemikiran, ide dan gagasan para kaum intelektual Betawi yang harus sama-sama dihargai sebagai sebuah warisan konstitusi.

“Ini merupakan awal dari sebuah tonggak sejarah perjuangan kaum muda Betawi dimasa kini” ungkap Jalih Pitoeng, Selasa (18/02/2025).

“Ini adalah sebuah warisan konstitusi yang dipersembahkan bagi kaum Betawi dari generasi ke generasi” sambungnya.

Pendiri sekaligus ketua umum Yayasan Perjuangan Rakyat Jalih Pitoeng (Jalih Pitoeng Centre) yang terus mengamati perkembangan sosial budaya ditanah Betawi ini menilai bahwa saat sudah banyak kemajuan yang yang dimiliki oleh kaum Betawi.

“Secara intelektualitas, anak-anak Betawi saat ini sudah sangat maju dan berkembang” jelasnya.

“Kaum Betawi telah banyak melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan intelektual. Mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga profesor pun kaum Betawi sudah memilikinya” sambung Jalih Pitoeng menegaskan.

“Kemudian dari aspek birokrasi, kaum Betawi juga sudah sangat mumpuni untuk memimpin kotanya sendiri” lanjut Jalih Pitoeng.

“Sebut saja tokoh senior Betawi seperti Fauzi Bowo yang pernah menjadi gubernur DKI Jakarta dan Marullah Matali yang hingga saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah provinsi DKI Jakarta” katanya lagi.

Terkait aspek kebudayaan yang saat ini sedang dibahas oleh tim perumus Kaukus Muda Betawi, Jalih Pitoeng mengatakan bahwa Kaukus Muda Betawi sangat pro aktif dan adaptif menyambut lahirnya UU DKJ (Daerah Khusus Jakarta) yang baru saja diterbitkan.

“Kaukus Muda Betawi sangat pro aktif dan adaptif dalam menyikapi lahirnya undang-undang DKJ yang baru saja diterbitkan” kata Jalih Pitoeng.

“Sehingga kita semua yang hadir disini sedang merumuskan secara konstitusional berbagai kepentingan demi penguatan kebudayaan Betawi sebagaimana yang tertuang dalam pasal-pasal, klausul serta butir-butir yang termaktub dalam undang-undang DKJ tersebut” sambung Jalih Pitoeng memaparkan.

Selaku salah satu anggota tim yang hadir dalam pembahasan tentang RAPERDA tersebut, Jalih Pitoeng yang saat ini diketahui sedang memperjuangkan nasib ratusan sanggar dan para pegiat seni budaya Betawi dibawah salah satu Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Budaya Betawi (YASBI) memandang sangat penting pembahasan guna merumuskan berbagai kepentingan terhadap penguatan dan pemajuan budaya Betawi.

“Pembahasan RAPERDA guna penyesuaian sebagai turunan dari undang-undang DKJ secara implementatif ini sangat penting” ungkap Jalih Pitoeng.

Selain itu, ketua umum Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Budaya Betawi ini juga berharap dengan adanya perubahan status Jakarta yang tidak lagi menjadi ibukota, maka penguatan budaya sebagai salah satu potensi ekonomi melalui seltor pariwisata, dirinya berharap agar semua kebijakan yang terkait dengan kebudayaan Betawi harus ditetapkan secara sentralistik.

“Sekarang kan sudah ada lembaga adat Betawi, sehingga seluruh kebijakan yang terkait dengan kebudayaan harus dikeluarkan secara sentralistik agar tidak terjadi multi policy seperti sebelum-sebelumnya” kata Jalih Pitoeng.

Menurut Jalih Pitoeng, hal tersebut sangat perlu dan penting untuk dirumuskan mengingat adanya sebelumnya ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa diri dan organisasinya merasa paling berhak untuk kepentingan tersebut.

“Ini sangat perlu dan bahkan penting dirumuskan untuk menjadi sebuah ketetapan agar tidak terjadi tumpang tindih akibat banyak lembaga atau badan serta ormas yang merasa bahwa merekalah yang paling berhak atas kepentingan tersebut” Jalih Pitoeng mengingatkan.

“Apalagi jika sudah terkait dengan penggunaan anggaran kebudayaan” imbuhnya.

Jalih Pitoeng juga menyinggung tentang adanya korupsi ratusan miliar di dinas kebudayaan yang sedang diungkapnya saat ini adalah merupakan dampak dari kurangnya kepedulian dan perhatian.

“Korupsi ratusan miliar di dinas kebudayaan DKI Jakarta yang terjadi saat ini merupakan salah satu dampak dari kurangnya kepedulian dan perhatian kita dalam pengawasan” kata Jalih Pitoeng.

“Hasil investigasi kita dilapangan banyak menemukan kelemahan dan keabaian para pegiat seni budaya. Sehingga hal itu membuka peluang bagi orang-orang untuk melakukan penyalah gunaan wewenang dan penyimpangan penggunaan anggaran” pungkas Jalih Pitoeng mengingatkan. (Jp).

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *