JAKARTA | JacindoNews.com – Memasuki usia yang hampir nyaris 5 Abad atau tepatnya 498 tahun, kota Jakarta terus berbenah diri guna mempersiapkan diri akibat globalisasi dan konstitusi.

Suku Betawi yang merupakan terbesar ke lima dari suku-suku yang ada di Nusantara, sudah dikenal sejak dahulu kala. Namun hingga saat ini belum memiliki lembaga ada seperti suku-suku lainnya di Indonesia.

Oleh karenanya, saat ini adalah sebuah momentum yang sangat berharga untuk melakukan terobosan yang revolusioner dalam menghadapi dua kenyataan saat ini.

Kemajuan tekhnologi tak mampu dibendung oleh kekuatan apapun kecuali budaya yang harus tetap dipelihara dan dijaga sebagai jati diri sebuah bangsa. Apalagi dengan kemajuan tekhnologi informasi saat ini. Dimana dunia hanya dibatasi oleh ujung jari.

Perubahan status Jakarta yang tidak lagi menjadi ibukota negara berdasarkan undang-undang yang telah diterbitkan merupakan langkah strategis dan konstitusional untuk menyongsong masa depan kaum Betawi sebagaimana yang telah dicanangkan bahwa Jakarta akan menjadi kota dunia dan kota budaya.

Historis Perjuangan Kaum Betawi

Betawi atau yang saat ini dikenal dengan sebutan Jakarta merupakan kota yang memiliki goresan sejarah. Baik dimasa penjajahan mulai dari Portugis, Belanda hingga Jepang.

Indonesia merupakan satu-satu nya negara yang kemerdekaan nya direbut melalui perjuangan rakyat.
Peran ulama, rakyat dan para pejuang yang tergabung dalam laskar-laskar perjuangan kemerdekaan rakyat adalah bagian yang tak seorangpun dibelahan dunia ini dapat membantah sejarah perjuangan dan perlawan rakyat terhadap penjajah.

Selain kota Jakarta menjadi ibukota kota pertama Indonesia, Jakarta atau Betawi juga punya banyak pahlawan kemerdekaan.

Sebut saja KH. Noer Ali dari Timur Jakarta, KH. Mugeni dari bilangan Kuningan Jakarta Selatan, Kiyai Junaidi atau yang lebih dikenal Syeh Juned serta puluhan kiayai-kiayi ternama seperti KH. Abdullah Syafii hingga kiayi sejuta umat yaitu KH. Zaenudin. MZ

Goresan sejarah perjuangan tersebut menggambarkan betapa besarnya peran kaum Betawi dalam perjuangan dan pembangunan bangsa.

Memasuki masa pembangunan, kaum Betawi juga terus berpartisipasi dan berperan aktif membangun dan memelihara kerukunan umat, kerukunan antar suku sebagai penduduk asli sebuah ibukota negara yang sangat pluralistik.

Berbeda jaman, berbeda pula peran dimasa kini. Banyak anak-anak Betawi saat ini yang memiliki kemampuan dalam berbagai disiplin ilmu, pendidikan dan tekhnologi.

Mulai dari guru, ulama, polisi, tentara dan birokrat, kaum Betawi juga telah melahirkan ribuan sarjana, ratusan doktor hingga puluhan profesor.

Artinya, kemampuan untuk mengurus dan memimpin kota Jakarta setelah tak lagi menjadi ibukota sudah sangat memiliki feasibilitas yang tinggi untuk memimpin kota nya sendiri.

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa harus ada aturan dan perundang-undangan untuk mengatur dan menetapkan guna kepentingan tersebut.

Salah satunya adalah percepatan pembentukan lembaga adat bagi kaum Betawi sebagai rumah besarnya orang Betawi yang akan mengatur, merumuskan sekaligus menerapkan ketentuan-ketentuan yang merupakan kesepakatan kaum Betawi demi kebutuhan dan kepentingan dari berbagai aspek kehidupan.

Baik pendidikan, sosial, ekonomi, politik serta berbagai kebijakan yang berorientasi pada kepentingan pemajuan masyarakat Betawi sesuai dengan undang-undang.

Dewan Adat Bukan Ormas

Lahirnya undang-undang No. 2 tahun 2024 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Jakarta, telah melahirkan pula 2 pendapat dan pandangan yang berbeda. Ada yang ingin mempertahankan Jakarta tetap sebagai ibukota, ada juga yang mengharapkan ibukota pindah dan Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta sebagai kota global dan kota budaya dan pariwisata.

Dari hasil observasi yang kita lakukan melalui Jalih Pitoeng Centre (Yayasan Perjuangan Rakyat Jalih Pitoeng) yang selama 7 tahun terakhir mengamati, mempelajari, menganalisa serta mengkaji bahwa ternyata tanah Betawi itu subur terhadap tumbuhnya ormas-ormas, komunitas atau entah apa namanya banyak secara kualitatif.
Bahkan dari data yang kami peroleh, terdapat ratusan ormas, komunitas dan lembaga Kebetawian.

Namun sangat disayangkan, yang peduli terhadap nilai-nilai luhur seni dan budaya sebagai ciri suatu bangsa masih dapat dihitung dengan jari.

Fakta empirik yang baru saja terjadi yaitu pristiwa pengungkapan terjadinya korupsi, manipulasi bernilai ratusan miliar di dinas kebudayaan hanya dilakukan oleh oleh segelintir anak Betawi.

Sehingga dalam kapasitas sebagai pengamat sosial, budaya, ekonomi, politik dan kebijakan publik, saya melihat bahwa memang teramat minim kepedulian kaum Betawi dalam pengawasan ini. Padahal yang dikorupsi itu adalah mutlak hak para pegiat seni budaya Betawi.

FORMASI atau Forum Aliansi Masyarakat Anti Korupsi yang dibangun sebagai organ taktis guna mendukung pemerintahan dibawah presiden Prabowo Subianto dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, FORMASI nyaris terkesan sendirian.

Namun seiring waktu, kini mulai tumbuh kesadaran secara kolektif khususnya bagi kaum Betawi yang berprofesi sebagai seniman atau para pegiat seni budaya Betawi mulai tumbuh meski tak sesuai dengan ekspektasi.

Hal tersebut sangat dapat kita maklumi karena berbagai pendekatan;

1. Mereka tahu, namun tak mampu;
2. Tahu, mampu, namun tak berani;
3. Tahu, mampu, berani, namun tak mendapat momentum.

Tiga pendekatan tersebut diatas telah saya lakukan berdasarkan silaturahmi ala Betawi, eksplorasi informasi, reportase hingga investigasi.

Oleh karenanya ketika kasus korupsi ratusan miliar di dinas kebudayaan masuk pada fase penyidikan, hampir 90 persen yang dibutuhkan pihak Kejaksaan nyaris telah terpenuhi.

Mulai dari keterangan saksi, pengakuan, korban, hingga dokumen yang sangat berarti sangat membantu dan dibutuhkan guna percepatan penyidikan dan pemberkasan.

Sebagai manusia yang ditakdirkan tak pernah puas, tentu ada rasa sedikit kecewa. Namun demikian kita tetap sangat mengapresiasi pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang telah menahan 3 tersangka. Dan saat ini tinggal menunggu tahap peradilannya yang rencananya akan berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pejuang, Pedagang dan Pecundang

Sengaja penulis mengambil sub tema unik ini. Atau bahkan ekstrim. Karena berdasarkan olah peristiwa ke pristiwa, predikat tersebut memang nyata adanya.

Ada yang benar dan sungguh-sungguh, konsisten memperjuangkan nilai-nilai luhur budaya Betawi secara kultural, baik dari kaum intelektual maupun para pegiat seni budaya serta para pimpinan sanggar-sanggar silat yang ada ditanah Betawi.

Predikat kedua, merupakan sesuatu yang agak sumir. Antara berbuat tulus, ikhlas, luhur dan mulia atau hanya memperdagangkan dengan tujuan mencari keuntungan baik pribadi maupun kelompok tertentu serta golongan.

Fenomena ini sering kita temukan dimana seseorang atau kelompok tertentu mengaku-ngaku Betawi, namun perkataan dan tulisan tidak linear dengan hasil perbuatan.

Bisa dibilang, hanya menggunakan dan atau memanfaatkan para pegiat seni budaya sebagai objek yang diperdagangkan melalui pagelaran seni budaya demi mencari keuntungan dan bukan dijadikan sebagai subjek yang bertanggung jawab untuk menjaga, memelihara, melestarikan sekaligus mengembangkan warisan seni budaya Betawi sebagai ciri dan jatidiri bangsa dalam hal ini bangsa Betawi yang telah sebelum negara ini merdeka.

Pecundang adalah tabiat atau watak penakut dalam perjuangan. Predikat ketiga ini terkadang apatis dan tidak mau tahu serta tak mau peduli. Dia akan berpihak pada sesuatu dan atau seseorang yang menguntungkan bagi dirinya. Typical seperti ini biasanya tidak mau atau tidak berani mengambil resiko dalam perjuangan.

Pentingnya Originalitas Kebetawian Dalam Memimpin Organisasi Betawi

Sebagai salah satu anak Betawi pinggiran yang memiliki rasa tanggung jawab moral dan kultural untuk mendukung ide-ide dan gagasan yang cemerlang serta berani melakukan trobosan, maka saya sangat mendukung adanya upaya percepatan pembentukan lembaga adat masyarakat Betawi.

Sebagai salah satu bagian yang integral dalam perjuangan para kaum intelektual muda Betawi dalam Kaukus Muda Betawi, maka menjadi kewajiban bagi kita semua untuk mensukseskan diterbitkannya Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur atau apapun landasannya tentang Lembaga Adat Betawi.

Lembaga Adat Betawi adalah lembaga keadatan dan tidak berada serta berdiri dibawah undang-undang keormasan.

Maka kedudukan “Dewan Adat” adalah kedudukan tertinggi dan sakral didalam lembaga adat yang merupakan rumah besarnya orang Betawi. Sehingga tidak sembarang orang menduduki posisi tersebut.

Sebagaimana kelaziman di seluruh Nusantara, Dewan Adat biasanya juga ditemukan istilah Majelis Adat. Ketua majelis adat itulah yang biasa memimpin sidang-sidang majelis.
Didalam lembaga adat, Dewan Adat tidak mengenal istilah atau sebutan “Ketua Umum” kecuali “Ketua Majelis Adat” sebagaimana ditetapkan dan diketahui oleh kita semua. Karena Dewan Adat adalah predikat bukanlah organisasi.

Dewan Adat yang bersidang dan bermusyawarah didalam sebuah majelis adat, diharapkan mampu menghasilkan produk-produk hukum maupun aturan keadatan sekaligus memberikan sumbangsih pemikiran, ide dan gagasan serta usulan yang diserap secara aspiratif untuk disampaikan kepada kepala daerah dalam hal ini gubernur DKI Jakarta atau nanti setelah diundangkan menjadi Daerah Khusus Jakarta.

Lembaga Adat Betawi tidak berdiri dibawah Gubernur, akan tetapi sejajar dengan gubernur sebagai mitra pemerintah daerah. Bahkan dalam perkembangan jaman dan sesuai dengan kebutuhan serta perubahan aturan dan perundang-undangan, saya berharap agar lembaga adat bisa mengambil peran dan fungsinya untuk mengangkat seorang gubernur kepala Daerah Khusus Jakarta sebagai hak istimewa nya setelah tak lagi menjadi ibukota negara.

Walaupun sebagai Betawi pinggiran dan datang agak belakangan, penulis memiliki mimpi besar bagaimana menjaga, memelihara, melestarikan sekaligus memajukan seni budaya Betawi termasuk mengevaluasi prosedur, kriteria dan ketentuan-ketentuan serta ketetapan yang akan diputuskan oleh majelis adat dalam sidang lembaga adat tentang prasyarat dan syarat untuk menduduki posisi sebagai ketua atau ketua umum organisasi keadatan yang menggunakan emblem-emblem atau icon-icon serta simbol-simbol kebetawian agar tidak menjadi cemoohan dan murahan sekaligus tidak bermartabat dan berwibawa.

Impian dan usulan ini bukan tidak punya alasan. Selain sebuah wujud kecintaan sekaligus kebanggaan sebagai anak Betawi, juga merupakan hasil pengamatan beberapa tahun terakhir.

Banyak organisasi yang tumbuh mengatas namakan Betawi, tapi isinya hanya segelintir orang bahkan mohon maaf bukan asli orang Betawi.

Bukan radis, bukan pula anti pluralis. Tapi fenomena ini punya banyak rekam jejak yang menimbulkan distrust terhadap oknum-oknum pemimpin organisasi yang mengaku Betawi.

Kita semua sadar bahkan sangat memahami bahwa kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul adalah hak konstitusional warga negara. Akan tetapi, ketika itu masuk wilayah adat, maka hukum adalah yang dikedepankan.

Karena akan menjadi lucu, ketika saya Jalih Pitoeng memimpin organisasi di Yogyakarta misalnya, atau wilayah adat Melayu Riau. Oleh karena nya jangan dibalik prinsip-prinsip manajemen nya.

Menempatkan orang yang salah pada tempat yang baik dan benar.

Bahkan jauh sebelum teori ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Philip Kotler, bahkan 14 abad yang silam Rasulallah telah mengingatkan bahwa “Jika sesuatu dilakukan oleh yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”

Maka sebagai usulan dan harapan sekaligus impian, Lembaga Adat Wajib mengatur kriteria tersebut sebagai upaya preventif dan protektif dari “Pelacuran Organisasi” atas nama Betawi.

Bukan hanya mengedepankan originalitas nasab kebetawiannya, namun juga harus memenuhi unsur-unsur kebutuhan kepemimpinan yang wajib dimiliki serta melekat yaitu tentang kapasitas, leadershipitas, integritas dan moralitas serta menjunjung nilai-nilai akuntabilitas yang pada abad ini tergolong makhluk langka.

Kalau boleh meminjam petuah keluarga besar kami, “Apa ilok macan makan anaknya”. Maksud dari kalimat tersebut adalah “Apa iya bocah Betawi asli mau ngerusak nama baik dan martabat Betawi”.

Kalaupun ada oknum, kemungkinannya akan lebih kecil ketimbang kita tidak menetapkan aturan dan kriteria sebagai sebuah prasyarat dan syarat serta seleksi sekaligus upaya proteksi demi kebaikan dan kemajuan Betawi.

Jakarta, 30 Mei 2025

Jalih Pitoeng
Ketua Jalih Pitoeng Centre

By Admin

error: Content is protected !!