JAKARTA | Jacindonews – Sudah lebih dari dua bulan proses pembangunan Puskesmas yang memotong hak warga atas lahan terbuka RPTRA di Kelurahan Glodok, tepatnya di RT 012 dan 013 bernama Kebon Torong dimana ada beberapa kejanggalan yang tercatat bila mencermati berbagai informasi yang disampaikan warga terdampak di media sosial Tiktok bernama Lapangan Kebon Torong serta berbagai media nasional, medsos dan di banyak link berita lokal.
Kejanggalan itu antara lain, pertama belum adanya kesepakatan persetujuan bulat warga terdampak langsung atas rencana pembangunan puskesmas disana, kedua, peran aktif Wakil Rakyat Ima Mahdiah yang biasanya membela kepentingan warga sekecil apapun, malah mendukung dan mendesak dilaksanakannya proyek dimaksud tanpa cermat mendalami kajian-kajian dampak sosial psikologis lingkungan dan warga penghuni juga “security of life living” yang terkena langsung akibatnya.
Kejanggalan ketiga, eksekusi sepihak yang dilaksanakan pada akhir bulan Mei cenderung bergaya “premanisme” secara halus dimana pengabaian penolakan warga tidak digubris sama sekali, keempat, seakan mengejar “deal” tertentu dengan pihak kontraktor maka segala persiapan aksi seperti pemagaran lahan, digantinya keamanan lingkungan dengan satlinmas tanpa ada pra informasi secara tertulis pada setiap warga terdampak.
Kelima, warga telah melakukan aksi demo damai yang terlihat dari spanduk-spanduk penolakan saat diliput berbagai media juga terpasang didepan rumah warga masing-masing, tetapi pihak Penguasa Dinkes dan kelompoknya tidak bergeming, seakan bersikap “emang siapa kamu sih?”, sesuatu yang melukai perasaan warga tak berdaya itu.
Kejanggalan keenam adalah ketika masuknya alat berat pengecoran dan berjalannya pekerjaan lapangan sejak saat itu semaunya saja hingga acapkali sampai malam hari, meskipun protes keberatan warga berlangsung dan baru mengendur setelah akhirnya pihak Kelurahan ikut turun tangan menengahi ditengah pongah sang kontraktor yang mungkin merasa di”backing” pihak oknum tertentu. Maka jelas sikap “emang kamu siapa sih?” kepada warga semakin terasa dan semakin menyakitkan perasaan dan pikiran warga terdampak saja.
Ketujuh, meskipun warga melalui Pengacara melakukan tuntutan di PTUN dan karena sudah resmi masuk di Pengadilan, seyogianya meski tanpa perintah Pengadilan pun proyek dihentikan sementara, terkesan peribahasa “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu” tiada respek terhadap proses Hukum juga menyepelekan upaya warga tersebut. “Emang kamu siapa sih?”.
Kedelapan, terasa sangat tidak lazim bila telah terjadi perlawanan sedemikian oleh sekelompok warga dan telah berkoresponden ke Gubernur dan pihak-pihak terkait, tetapi seakan tidak pernah sampai masalah lokal di Kelurahan Glodok ini, terkesan ada oknum tertentu yang menjegal berbagai urusan terkait warga Kebon Torong ini, segala kemungkinan selalu ada ketika sebuah proyek tengah dilancarkan.
Kejanggalan kesembilan adalah keberanian membongkar lahan berfungsi RPTRA ini justru ditengah Gubernur mengambil kebijakan untuk menambah atau memperluas lahan terbuka lingkungan warga itu, sehingga perbuatan ini sudah termasuk pembangkangan yang bila tidak dihentikan semakin menunjukan adanya sesuatu dibalik pemaksaan pembangunan Puskesmas disana.
Akhirnya kejanggalan kesepuluh adalah, bahwa warga menekankan tidak pernah menentang atau menolak upaya membangun Puskesmas, tetapi tidak dilahan yang telah puluhan tahun menjadi ajang kegiatan sehat lingkungan oleh warga Kelurahan Glodok dan sekitar, tetapi anehnya justru pihak Dinkes dan wakil rakyat mencari lahan baru pengganti yang notabene menghasilkan dua proyek yang bertolak belakang, seharusnya justru lahan Kebon Torong itu yang dibantu dioptimalisasi keberadaannya, bukan malah dibongkar sebagai Puskesmas yang tidak ada ridho warga setempat pastinya.
Maka dengan catatan berbagai sepuluh kejanggalan diatas kiranya wajar sekali bila Gubernur Pramono Anung diminta langsung turun tangan dalam kasus lahan Kebon Torong ini untuk ditinjau ulang dikembalikan lagi kepada fungsinya semula. (**).
**Adian Radiatus