JAKARTA | JacindoNews +Masih menyikapi dan mengamati situasi dan kondisi dalam negeri saat ini pasca peristiwa aksi massa 28 Agustus 2025 yang banyak menyedot perhatian masyarakat, karena menimbulkan satu korban jiwa atas nama almarhum Affan Kurniawan seorang ojek daring saat melaksanakan tugas pekerjaannya, Andy Boxer Ketua Umum Poros Alternatif memyampaikan melalui ilustrasi dan ulasan dari pemahamannya tentang demokrasi yang disepakati sebagai hak humanity yang berdasarkan kebebasan berekspresi justru selalu menuai sebuah persoalan baru, dimana salahnya, hal ini harus menjadi perhatian bagi seluruh lapisan masyarakat, mulai dari politikus, pejabata hingga masyarakat itu sendiri.
Dalam sebuah iklim demokrasi kita sangat mengenal sebuah adagium semangat dari demokrasi itu sendiri Vox Populi, Vox Dei, yang diartikan Suara Tuhan Suara Rakyat, hal ini seperti belum dipahami esensi makna dan maksudnya oleh sebagian besar rakyat Indonesia, baik masyarakat umum, pejabat apalagi politisi nya, padahal dalam sebuah teori politik dikatakan bahwa ada 3 unsur utama sebagai dasar fundamental dalam pembentukan sebuah negara yang terdiri dari : Rakyat, Wilayah, dan Pengakuan (defacto maupun dejure), yang mana hal tersebut tidak dapat diganggu gugat, itulah mengapa harus ada pemerintahan pada sebuah wilayah yang didalamnya terdapat sekumpulan orang untuk mengatur kepentingan hukum, birokrasi, sosial hingga politik maupun agama agar tercipta sebuah ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat nya.
Mengupas pemahaman Vox Populi, Vox Dei tersebut, Bidang Program Hukum Poros Alternatif mencoba membuat sebuah penjabaran singkat untuk dapat dipahami secara konvensional dasar namun lugas agar dapat mudah dipahami oleh masyarakat umum, ini menjadi salah satu Program Tim hukum Poros Alternatif dalam ikut serta mencerdaskan bangsa sehingga dapat membangun masyarakat yang melek dan sadar hukum serta politik, walaupun dilakukan secara konvensional dan praktis.
MENJAGA MARWAH VOX POPULI, VOX DEI DARI ANASIR JAHAT
Oleh : Mohammad Aryareksa Gumilang
(Kabid. Program Hukum Aliansi Poros Alternatif)
“Vox Populi, Vox Dei”
Begitu dikenal dan populer dalam adagium hukum Latin yang berarti “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Dalam konteks hukum, adagium ini menekankan bahwa kehendak dan suara rakyat memiliki posisi fundamental yang harus dihormati, bahkan dianggap sebagai kehendak ilahi.
Mengapa kita harus menjaga marwah Vox Populi, Vox Dei? Jawabannya karena ada praktek anasir jahat yang ingin mendegradasi aspirasi tuntutan – tuntutan rakyat demonstrasi nasional 25 – 31 Agustus 2025 dengan sejumlah aspirasi menuju transformasi nasional yang berkeadilan.
Pasca Demonstrasi Nasional 25 – 31 Agustus 2025 yang berlangsung simultan hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia. Penulis memperhatikan bahwa sudah banyak teori konspirasi bermunculan untuk menerka – nerka siapa dalang dibalik aksi massa ini. Beberapa mengatakan ini ulah geng solo dan beberapa lagi mengatakan ada sindikasi koruptor besar yang mendalangi ini.
Anasir jahat yang dibungkus dalam narasi siapa dalang di balik kerusuhan telah berhasil menggeser fokus publik dari tuntutan utama. Publik saat ini digiring pada dua versi. Satu yang mengatakan aksi kemarin murni jeritan rakyat, dan satu lagi yang menyebut ada operasi elit politik.
Yang jelas narasi ini membuat fokus masyarakat bergeser. Alih-alih mendalami tuntutan soal gaji DPR dan kritik terhadap kebijakan, energi habis untuk memperdebatkan siapa dalang kerusuhan.
Tentu ada pihak yang merasa bahwa sistem yang berjalan ini telah bagus dan tak patut dirubah yaitu pihak – pihak oligarki dan kroni yang diuntungkan dari bobroknya pengelolaan & penyelegaraan negara. Dan ketika rakyat marah dan protes tak ada satupun pihak Dewan Perwakilan Rakyat yang mau menemui Massa Aksi. Takut berarti salah.
Namun ada satu lagi anasir jahat yang harus dihempas yaitu ANARKISME.
TINDAKAN – TINDAKAN ANAKIRSME & VANDALISME
Gelombang aksi demo di sejumlah daerah yang semula berjalan damai telah diwarnai tindakan anarkis dan penjarahan rumah pejabat. Sejumlah laporan menyebut adanya kelompok yang diduga berasal dari jaringan anarko menyusup ke tengah massa dan memprovokasi situasi hingga berujung perusakan fasilitas umum. Mari bersama – sama kita mengutuk perbuatan tercela tersebut. Satu kata saja “Tangkap!”
Penulis sebagai seorang advokat berpendapat bahwa walaupun Demonstrasi merupakan salah satu hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dan kebebasan menyampaikan pendapat ini adalah bagian penting dari demokrasi.Namun, kebebasan tersebut memiliki batasan hukum yang jelas.
JERAT HUKUM PIDANA
Tindakan anarkis, seperti perusakan, pembakaran, atau kekerasan terhadap aparat bisa dijerat pidana:
Pasal 170 KUHP lama: Kekerasan bersama-sama terhadap orang atau barang, ancaman pidana hingga 5 tahun 6 bulan
Pasal 262 KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) dengan ancaman pidana lebih berat, hingga 12 tahun penjara, jika perbuatan menyebabkan luka berat atau kematian.
Hukum tidak hanya menjerat pelaku anarkis di lapangan, tetapi juga orang yang menghasut atau memprovokasi massa tertulis di Pasal 160 KUHP lama: “Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana atau melawan penguasa, terancam hukuman penjara paling lama 6 tahun”.
Apa makna menghasut dalam hukum?
Menghasut adalah : Tidak sebatas sekadar mengajak, tetapi mendorong dan membakar semangat massa untuk melakukan pelanggaran hukum dan diperkuat dengan pemaknaan delict yakni dari : Delik penghasutan bersifat materiel. Artinya, provokator baru bisa dipidana jika hasutan yang dilontarkan benar-benar berujung pada tindak pidana, misalnya kerusuhan atau tindak kekerasan. (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009)
Dalam KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023), aturan ini diperkuat melalui Pasal 246 yang menegaskan ancaman pidana 4 tahun penjara atau denda hingga Rp 500 juta bagi siapa pun yang menghasut orang lain melakukan tindak pidana di muka umum.
DEMOKRASI HARUS DIJAGA SEBAGAI GERAKAN MORAL MENUJU PERBAIKAN
Demo merupakan upaya untuk merawat demokrasi dan melalui instrumen inilah rakyat bersuara menyuarakan aspirasi dan kehendak rakyat vox populi vox dei. Dan penulis yakin dengan menumbuhkan kesadaran, menajamkan kritik dan mengawal transformasi maka transformasi nasional itu benar benar akan terjadi.
Melalui kebebasan yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ni maka hilanglah Daulat Tuanku diganti dengan Daulat Rakyat. Maka setiap pennyelenggara Negara yang Abuse of Power atau bermewah – mewahan diatas penderitaan rakyat maka rakyat berhimpun lalu LAWAN !! (Jac-Red)
