JAKARTA | JacindoNews – Jumat (19/09/2025). Sudah lebih dari lima tahun nasabah korban Asuransi Wana Artha Life (WAL) menunggu keadilan. Lima tahun penuh air mata dan kehilangan. Skandal Asuransi WanaArtha Life (WAL) tidak hanya merampas uang Nasabah, tetapi juga merampas harapan, kesehatan, bahkan nyawa sebagian dari korban.
Di balik kasus ini, ada kisah nyata yang begitu menyayat hati. Ada bapak berusia 75 tahun yang seharusnya bisa duduk tenang di beranda rumahnya, tetapi kini terpaksa mondar-mandir ke rumah sakit dengan tabungan yang sudah habis. Ada seorang ibu berusia 72 tahun yang tiap hari menahan tangis karena rumah satu-satunya harus dijual untuk membeli obat. Ada pula mereka
yang sudah menutup mata, meninggal dunia tanpa sempat melihat kembali hasil jerih payahnya.
“Kami, para korban lansia ini, bukan hanya kehilangan uang. Kami kehilangan ketenangan, martabat, dan masa tua yang seharusnya tenang bersama keluarga. Betapa perih rasanya mengetahui bahwa uang yang kami sisihkan dari hasil kerja keras seumur hidup justru masih bisa dinikmati para tersangka kejahatan kerah putih yang hidup tanpa beban.”
“Kami ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada aparat penegak hukum, baik dari Bareskrim Polri maupun Kejaksaan Tinggi, atas upaya yang telah dilakukan selama ini.”
Namun pada titik ini, setelah gelar perkara hari ini, kami ingin bersuara lantang: cukup sudah. Kami tidak bisa lagi menunggu. Kami menuntut perkara ini segera dinyatakan lengkap (P21) dan segera dilimpahkan ke pengadilan.
“Walaupun Kejaksaan Tinggi tidak hadir dalam gelar perkara hari ini, kami tetap percaya bahwa mereka terus berusaha secara maksimal agar perkara ini dapat segera disidangkan. Karena itu,
kami berharap Kejaksaan dapat segera mengundang kami bersama pihak Bareskrim dalam gelar perkara di kantor Kejaksaan, agar langkah menuju persidangan benar-benar terwujud.”
“Kami juga menuntut agar para pelaku dijatuhi hukuman seberat-beratnya, setara dengan luka yang telah mereka tinggalkan dan derita yang masih kami pikul sampai hari ini.”
“Lebih dari itu, kami ingin keadilan yang nyata. Keadilan bagi kami bukan sekadar melihat pelaku di balik jeruji, tetapi memastikan hak kami kembali. Hal itu hanya mungkin terwujud apabila negara berani mengambil langkah tegas: merampas seluruh harta pelaku tanpa terkecuali. Jangan sampai aktor utama justru dibiarkan lolos dari perampasan, sementara aset yang nyata-nyata berasal dari kejahatan tetap tersembunyi. Segala bentuk kekayaan yang dialihkan, baik atas nama keluarga maupun pihak lain, harus ditelusuri dan dirampas untuk mengembalikan keadilan bagi para korban.
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang memberi jalan untuk itu, bahkan tanpa menunggu pembuktian panjang. Kalau uang itu berasal dari kejahatan, negara harus mengambilnya kembali untuk korban.
Negara punya kewajiban untuk melindungi rakyat kecil. OJK yang mengawasi industri asuransi tidak boleh lepas tangan. Negara pernah berani dalam kasus Jiwasraya dan Asabri, mengembalikan kerugian besar.
Mengapa dalam kasus WanaArtha, korban yang mayoritasblansia dibiarkan menunggu tanpa kepastian?
“Kami sudah lima tahun hidup dalam kesedihan. Kami sudah tua, ingin menutup usia dengan tenang, tapi uang kami masih dikuasai pelaku. Jangan biarkan kami mati dalam penantian.”
“Keadilan bagi kami hanya berarti satu: segera P21, tuntutan maksimal, dan rampas seluruh aset untuk dikembalikan kepada korban.”
“Harapan kami sederhana: semoga langkah-langkah aparat dapat membawa kasus ini benarbenar sampai pada keadilan, agar jerih payah kami tidak hilang sia-sia dan masa tua kami tidak berakhir dalam penantian tanpa kepastian.”
“Jangan biarkan kami menutup usia dan meninggalkan dunia ini sebelum perkara ini selesai, sebelum hak kami kembali, dan sebelum keadilan benar-benar hadir bagi korban. (**)
**Perwakilan Korban Asuransi WanaArtha Life