JAKARTA | JacindoNews – Dalam dunia politik, yang mustahil itu adalah hanya menghidupkan orang mati.
Pergaulan politik itu tidak ada teman setia dan tidak ada lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi.
“Untuk pilkada DKJ, Bamus secara organisasi apakah memiliki warna khusus sebagai bagian dari pendukung kontestasi atau hanya sebagai penggembira” ungkap Suaeb Mahbub, Kamis (11/07/2024).
“Ataukah seperti NU berdasarkan muktamar Situbondo 1984 kembali kepada khittahnya” lanjut seniman pesisir laut utara Jakarta.
Menurut mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta ini, jika Bamus kembali kepada khittahnya, tentu Bamus Betawi berwarna kuning. Ketika itu, tahun 1982 ada kepentingan sayap-sayap dari pada warna kuning untuk merekrut tokoh-tokoh Betawi, atau sebaliknya tokoh Betawi mengaspirasikan gagagasan melalui ormas untuk berlabuh di warna kuning.
“Memang Bamus Betawi lahir dilatar belakangi oleh kepentingan politik kala itu” imbuh Suaeb.
“Bahkan jauh sebelum Bamus Betawi didirikan, telah lahir organisasi yang bernama Lembaga Kebudayaan Betawi yaitu pada tahun 1977” kenang Suaeb.
“Seiring berjalannya waktu justru Lembaga Kebudayaan Betawi malah menjadi bagian daripada Bamus Betawi” Suaeb menyayangkan.
Lebih lanjut dirinya mengatakan bahwa dinamika yang terjadi seringkali terjadi perbedaan pendapat akibat kepentingan kelompok tertentu. Karena memang itulah warna Bamus Betawi yang bernuansa politis seperti saat ini.
Menurut Suaeb, pada era post modern ini mari kita bangun Bamus yang adaptif dan konsultatif dalam paradigma membangun DKJ, membaca peluang tentang eficentrum Betawi, membaca simpul-simpul seni tradisi, dan bersinergis dalam merangkai aglomerasi Jakarta.
“Mestinya da satu simpul yang dibuat oleh Bamus sebagai karya abadi, yaitu center of excellence Betawi culture” harap Suaeb.
“Saat ini semua stimulan yang diterima oleh Pemda hanya dijadikan anggaran pakai habis, jika ada karyapun saat ini telah diakuisisi oleh persona” pungkasnya. (Mj).