JAKARTA | JacindoNews – Minggu (31/08/2025). Menyikapi situasi dan kondisi terupdate Indonesia dimana kita baru saja dihadapkan kepada sebuah peristiwa demonstrasi yang berubah menjadi gelombang aksi masa 25-28 Agustus 2025, dan berlanjut sampai saat ini, menjadi sebuah keprihatinan bagi banyak pihak termasuk masyarakat umum yang salah satunya dari Aliansi Poros Alternatif, sebuah aliansi masyarakat yang terdiri dari beberapa elemen organisasi dan dibawah pembinaan Mayjend Tatang Zaenudin,_

Beberapa opini dan pandangan masyarakat bertebaran dengan berbagai sudut pandang yang berbeda, demikian pula Poros Alternatif yang memiliki perspektif dari kacamata hukum diwakili oleh KaBid Program Hukum MA. Gumilang SH.MH, semoga perspektif yang kami sampaikan dapat membuka mata kita serta memberikan sedikit pencerdasan bagi kita semua sebagai anak bangsa ini yang memiliki kedaulatan atas tanah tumpah darahnya serta mencintainya dan selalu berupaya untuk mempertahakan haknya atas negaranya dengan cara-cara yang baik serta mengedepankan falsafah kearifan lokal sebagai jatidirinya namun tanpa menafikan unsur intelektual dan demokrasi.

 

“KODE KERAS MASSA AKSI 1312 DAN UPAYA REFORMASI POLRI”

Oleh : Mohammad Aryareksa Gumilang, SH.MH.
(Kabid. Program Hukum Poros Alternatif)

Di Indonesia gelombang kritik rakyat bertransformasi menjadi gelombang demonstrasi nasional secara simultan di Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Semarang, Makassar, dst selama 48 jam non stop yang salah satu tuntutanya yaitu untuk menuntut Reformasi Polri.

Pemicunya adalah meninggalnya seorang pengemudi ojek daring asal Indonesia. Ia meninggal dunia setelah ditabrak dan dilindas oleh kendaraan taktis milik Satuan Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah Metro Jaya pada saat unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat pada 28 Agustus 2025.

Fenomena gelombang demonstrasi nasional menunjukan stigma betapa antipatinya rakyat terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia. Mengapa demikian?

Jawaabanya dikarenakan beberapa tahun ini publik disuguhkan kenyataan kasus-kasus ‘problematik’ juga kerap kali berdatangan dari oknum-oknum polisi sendiri.

Diberitakan bahwa massa demonstrasi nasional membentuk Kode 1312 merupakan bentuk sandi dari kata “ACAB”, singkatan bahasa Inggris ‘All Cops Are Bastards’, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Semua polisi adalah baj**gan’. Jika huruf itu diurai dan diganti dengan nomor urutan abjad.

Dengan adanya fenomena yang disaksikan jutaan mata rakyat berarti menandakan masih seringnya aparat mengabaikan prinsip dasar sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian serta Perkap No. 1 Tahun 2009* tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang menekankan prinsip nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

Sejumlah aspirasi untuk mereformasi Polri secara substansial dan sistematis, baik secara kultural, instrumental, dan struktural antara lain :

1. SOP untuk menghentikan segala bentuk tindakan represif terhadap massa aksi.

2. Kebebasan berkumpul dalam konstitusi Indonesia dilindungi secara konstitusional melalui Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

3. Jaminan ini juga diperkuat oleh *Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998* tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang memberikan kerangka hukum untuk pelaksanaan hak tersebut._

Apapun alasan di lapangan pada dasarnya penggunaan kekuatan berlebihan oleh Kepolisian & Tindakan Represif telah mencederai Hak Konstitusional Warga Negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum dan tidak mencerminkan dari tugas konstitusional polisi di dalam *Pasal 30 Ayat (4)* Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) quo vadis polisi sipil (civilized police).

 

Syarat Minimal Pendidikan S1 untuk rekrutmen Kepolisian

Reformasi Polri menuntut fungsi kepolisian tidak lagi hanya bersifat fisik dan administratif, tetapi juga menuntut penguasaan Keilmuan Personal yang bersifat khusus, seperti *Ilmu Hukum, Kriminologi, Psikologi, Sosiologi, Teknologi Informasi, hingga Komunikasi Publik* sebagaimana yang ditemukan dalam Pendidikan Sarjana Strata 1 (S1) sehingga dirasa perlu Uji Materiil Pasal 21 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002* tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi hingga Mahkamah Agung sebagai Institusi Tertinggi dalam memutuskan sebuah perkara Politik dan Hukum sesuai Perundang-undangan dan Ketatanegaraan yang berlaku dan atau akan diberlakukan.

 

Mendesak Reformasi Internal Institusi Kepolisian RI

Pengawasan internal Polri, oleh satuan Propam, misalnya, sulit diharapkan efektif karena faktor belenggu solidaritas korsa *(esprit de corps)* dan subkultur *“blue code of silent”* yang ada di dalam institusi Polri yang seharusnya dalam masing-masing subkultur memiliki idealisme kultur sendiri dalam menjalankan dan melaksanakan tugas dan fungsinya._ _Akibatnya, penyalahgunaan kekuasaan *(abuse of power)* serta budaya impunitas terus berlangsung dan langgeng di tubuh kepolisian._

Demiliterisasi Kepolisian

Merujuk pada dasar *TAP MPR No. VI/MPR/2000* tentang *Pemisahan TNI dan Polri* serta selanjutnya *TAP MPR No. VII/MPR/2000* tentang *Peran TNI dan Polri*, yang menegaskan Polri sebagai alat negara untuk *Menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat* secara profesional adalah wujud pemisahan Polri dari ABRI, yaitu agar lembaga ini tidak lagi menjadi subordinat militer yang sarat kekerasan, bersih dari praktik politisasi penegakan hukum, serta mengukuhkan komitmen kepolisian terhadap prinsip demokrasi, Negara Hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM), namun kondisi saat ini justru Polri menunjukan yang Militer atau Keras serta semakin jauh dari sifat Humanis dan Mengayomi._

 

Penguatan Kontrol Eksternal Kepolisian

Pengawasan eksternal Polri adalah kontrol dan pemantauan yang dilakukan oleh lembaga atau pihak di luar institusi Polri._ _Dengan adanya penguatan kontrol ekternal adalah upaya perlindungan dari penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan membuka ruang bagi publik untuk memahami dan mengawasi kinerja kepolisian supaya kompeten dan mengikuti *Konsep “Rule of Law”*

Demikian sejumlah aspirasi penulis sebagai praktisi hukum advokat salah satu bagian dari Catur Wangsa Penegak Hukum di Republik Indonesia dan sekaligus *Ketua Bidang Program Hukum dari Aliansi Poros Alternatif* yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam upaya organisasi untuk mencerdaskan masyarakat serta memiliki kesadaran tinggi terhadap Hukum yang berlaku sesuai Hak dan Kewajiban dari seorang Warga Negara yang baik.

Ketua Umum Poros Alternatif R. Prihandy atau yang akrab dengan panggilan Andy Boxer

Dilain pihak Ketua Umum Poros Alternatif R. Prihandy atau yang akrab dengan panggilan Andy Boxer, sangat mengapresiasi pandangan dan pemikiran ini terlebih dalam menyikapi kondisi dan situasi nasional saat ini, dimana kita baru dihantam gelombang pergerakan aksi massa terkait tindakan-tindakan pejabat yang sudah melukai perasaan dan hati rakyat serta tindakan represif dari pihak kepolisian yang terlihat langsung secara kasat mata hingga menimbulkan banyak korban luka maupun korban jiwa yang dialami oleh salah satu anak bangsa Affan Kurniawan, hal ini harusnya menjadi catatan peristiwa untuk mendapat perhatian kita bersama sebagai anak bangsa, baik itu dari pihak institusi Polri sendiri maupun masyarakat umum, bahwa negara ini didirikan atas nama hukum, sehingga kita semua secara bersama-sama harus Menghargai dan Menjaganya, pungkas Andy Boxer sebagai catatan tambahan. (Jac-Red)

By Admin

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!