Jakarta, Jacindonews.com | Sudah saatnya penegak hukum turun tangan akan temuan BPK DKI. Ketua Umum Koalisi Peduli Jakarta (KPJ) Amos Hutauruk, meminta Polda Metro Jaya (PMJ), Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gerak cepat menyikapi temuan tersebut.

Modus Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) di Pemprov DKI Jakarta saat ini, sangat unik dan terbilang rapi kaloborasi mufakat jahatnya. KPJ angkat topi aksi KKN yang dilakoni oleh pejabat DKI, mengatakan lebih bayar, salah bayar, salah administrasi, keburu dibayar, setelah itu klarifikasi ke publik mengatakan tidak merugikan negara.

Di tengah Pandemi Virus Corona (Covid-19) yang melanda, semestinya para Pejabat di Pemprov DKI prihatin. Kita ketahui bersama, Gaji+Tunjangan Kerja Daerah (TKD) sudah cukup besar, apalagi ditambah biaya operasional tak terduga dengan segala fasilitas, rasanya tidak layak mereka korupsi, memperkaya diri sendiri serta antek-anteknya, mereka seakan tertawa di atas penderitaan orang lain.

KPJ merasa kasihan kepada pejabat DKI yang punya hobi korupsi di tengah pandemi ini. Cape-cape korupsi, toh tidak dapat dinikmati, karena keburu dihampiri Virus Corona yang akhirnya meregang nyawa. Dana tersebut dapat memberi rakyat makan, serta santunan anak yatim piatu yang telah ditinggal orangtuanya meninggal dunia korban Covid-19.

Ramai beredar berita di media online adanya temuan BPK, Kelebihan bayar alat Rapid Test dan Masker N95 di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tahun anggaran 2020. ”Masalah itu mengakibatkan pemborosan terhadap keuangan daerah senilai Rp 5,85 miliar,” dikutip dari laporan BPK. Hal tersebut membuat rakyat menaruh curiga, rakyat berasumsi ini adalah modus baru KKN ala Pejabat DKI.

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti telah menjelaskan ”Dari temuan tersebut tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan dan hanya berkaitan dengan masalah adminstrasi.” Koalisi Peduli Jakarta ( KPJ ) menilai pernyataan Kepala Dinas Kesehatan DKI tersebut tidak sejalan dengan,
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan tonggak berjalannya otonomi daerah, yang merupakan awal pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat (sentralistik) kepada pemerintah daerah (otonomi), yang selanjutnya diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya diubah dengan UU No. 23 Tahun 2014, dan yang terakhir adalah UU No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014. Pemerintah daerah sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (vide Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2004). Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah pusat yang meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta urusan agama (Vide Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004).

Urusan yustisi (peradilan) adalah urusan pemerintahan pusat. Berbagai hal tentang ketentuan normatif mengenai unsur-unsur pasal yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.
Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip yang dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik.
Secara yuridis pengertian korupsi tidak hanya terbatas pada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

  1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
  2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap).
  3. Kelompok delik pengelapan.
  4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan ( knevelarij, extortion ).
  5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan.
    Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota untuk :
  6. Menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik di lingkungan pemerintah daerah.
  7. Meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya.
  8. Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadi kebocoran keuangan negara baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) . Koalisi Peduli Jakarta ( KPJ ) merasa heran
    pejabat tersebut mengatakan, tidak ada kerugian negara. Kepala BPK DKI Jakarta Pemut Aryo Wibowo telah mengesahkan laporan keuangan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, Laporan Hasil Pemerikasaan ( LHP ) disahkan 28 Mei 2021. BPK temukan pemborosan pengadaan Alkes.

Koalisi Peduli Jakarta ( KPJ ) berharap kepada ketiga institusi penegak hukum di atas dapat segera bekerja terukur masif serta sistematis, mengungkap modus kejahatan ala pejabat DKI. ”Jangan mereka pikir kita semua orang bodoh, tinggal jawab kelebihan bayar, salah bayar, keburu dibayar, habis itu nyicil balikin uangnya ke kas daerah, selesai, urusan tidak masuk penjara, enak betul mereka ini,” tegas Amos.

Saat rakyat salah didenda, pedagang salah disegel. Ini sama saja hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, KPJ menilai kondisi ini tidak baik ditengah situasi ekonomi rakyat yang carut marut tidak berdaya memenuhi hidupnya. Segera tangkap aktor koruptor tanpa pandang bulu, agar kepercayaan rakyat terhadap keadilan di Ibu Kota Jakarta ini pulih kembali ujarnya. (LI)

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *