JNews, Tangsel – Kebanyakan mereka kebetulan secara finansial bisa dikatakan cukup mampu. Menengah ke ataslah. Tapi rata-rata bukanlah wanita karir namun karena bersuamikan yang karir atau usahanya maju. Ada juga sih yang usaha sendiri namun jumlahnya kecil. Sebagian besar karena karir/ usaha suaminya tinggi atau bagus sehingga mendudukkan mereka di jajaran sosialita atau orang kaya di kalangan tersebut. Jadi pendidikanpun bisa ditebak paling tinggi adalah S1 atau setara. Ada juga yang di bawah itu.
Mereka rata-rata berpenampilan wah. Ditunjukkan dengan asesoris yang dikenakan. Dari mulai pakaian, tas, sepatu, jam tangan dan mobil. Semuanya terlihat pada saat event-event seperti arisan, resepsi pernikahan dan pengajian. Tampilan mereka akan lebih terlihat karena diposting di sosial media masing-masing.
Tidak ada yang salah dalam hal ini. Adalah hak asasi manusia yang tidak dilanggar dalam hal ini. Apalagi ditunjang kemajuan tehnologi saat ini dimana sosial media memang fix merupakan ajang untuk menampilkan semua itu atau istilahnya flexing.
Sah-sah saja. Lah wong apa yang dipakai juga properti pribadi kok. Entah beli atau pemberian. Entah lunas atau masih kredit, semua itu tidak menghalangi hak seseorang untuk menampilkan di sosmed mereka.
Namun yang sangat disayangkan, saking kepinginnya dibilang : KAYA, CANTIK, LANGSING, BAIK dan DERMAWAN, ada beberapa orang yang menghalalkan segala cara karena haus akan pujian itu dan menabrak rambu-rambu yang walau tidak tertulis namun menyalahi etika dalam pergaulan. Contohnya :
● Mereka tak segan-segan menyingkirkan orang yang dianggap saingan dalam hal mencapai kehausan akan pujian itu.
● Mereka terlalu larut dalam pujian sehingga tak sadar kalau sedang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
● Mereka menganggap jika ada orang yang tidak memuji, berarti orang tersebut adalah haters.
● Mereka berusaha dengan segala daya upaya menjelekkan orang yang dianggap melebihi dirinya.
Di sini paham ya bagaimana begitu memabukkannya pujian atau sanjungan sehingga orang menjadi lupa akan dirinya dan tidak bersyukur atas segala yang sudah dia raih.
Analisa saya adalah bahwa pendidikan moral dan budi pekerti sangat berperan penuh pada karakter seseorang selain pendidikan dasar. Namun pendidikan yang cukup atau tinggi juga mempengaruhi.
Tujuan pendidikan dasar dapat diuraikan secara terperinci, seperti berikut : Memberikan bekal Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya. Mempersiapkan siswa untuk Mengikuti pendidikan ke jenjang berikutnya.
Jika kita berbicara soal pendidikan, rasanya hal ini sudah menjadi kebutuhan pokok yang tidak bisa ditinggalkan. Tetapi jika pembicaraan dikerucutkan menjadi pendidikan tinggi, mungkin masih ada beberapa orang yang bertanya, bukankah pengalaman hidup jauh lebih penting dari pendidikan formal yang tinggi? Ada juga yang berpikir bahwa bekerja lebih menguntungkan, karena sekolah tinggi itu mahal harganya.
Bagaimana menurut Anda? Pernahkah Anda berpikir demikian?
Menurut saya, sangat banyak kejadian dan pengalaman hidup yang dipengaruhi oleh pendidikan. Semakin tinggi dan baik pendidikan yang kita peroleh, maka semakin baik pola hidup yang kita jalankan serta semakin cerah potensi masa depan yang kita miliki.
Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan, Anda dapat mengubah dunia. – Nelson Mandela.
Kembali ke permasalahan ibu-ibu tadi, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan sangat mempengaruhi karakter seseorang dalam menghadapi permasalahan sosial di seputar pergaulan. Di sanalah terbentuk bagaimana orang dapat melakukan fitnah atau memanfaatkan sikon untuk kepentingan diri sendiri. Yang penting buat mereka tujuan mereka untuk dipuji dan disanjung seperti yang mereka inginkan tercapai. Kepuasan batin mereka ada di sana. Mereka tidak peduli jika ada orang lain yang dirugikan karena fitnahan mereka. Intinya yang penting dirinya tetap dipuji orang-orang sebagai pribadi yang unggul. Kebaikan mereka menjadi absurd, istilahnya riya’ karena mengharap pujian dari orang dan diketahui oleh khalayak apa yang mereka lakukan.
Solusi dari permasalahan ini adalah perlunya pembelajaran budi pekerti sedari dini agar generasi muda penerus kelak memiliki bekal mental dalam menghadapi perubahan global di masa depan. Pendidikan dasar dan menengah mutlak dilaksanakan secara paripurna. Pendidikan tinggi musti dicanangkan juga agar kompentensi generasi yang akan datang sesuai dengan espektasi bersama sesuai kemajuan zaman.
Demikian agar mereka memiliki kepercayaan diri dan terlepas dari pendewaan materi semata.
( Siti Maryanti Chasanah., S. Ip. M. Si*
Dosen di 2 Perguruan tinggi swasta di Tangerang dan Semarang ).
*(LI)